DINA
TRISIANA ISKANDAR, MUHAMMAD ARIFUDIN, IKA YULIASTUTI
INSTITUT
TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2006
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah sanitasi memicu
berbagai dampak negatif terutama berkenaan dengan masalah kesehatan. Tingkat
kesehatan masyarakat yang rendah memberikan efek berantai berupa penurunan
tingkat ekonomi hingga penurunan jumlah dan potensi sumber daya manusia.
Akumulasi pencemar yang terkumpul dalam lingkungan semakin meningkat dan
ibaratnya seperti bom waktu yang semakin mengancam kelangsungan hidup manusia,
sehingga perlu diadakan tindakan pemulihan. Berbagai solusi untuk memulihkan
kualitas lingkungan telah banyak dibahas, di antaranya adalah menggunakan
pendekatan yang memanfaatkan peran tumbuhan. Pemanfaatan tumbuhan sebagai
pemulih kualitas lingkungan merupakan solusi yang memberikan banyak keuntungan
dan ekonomis. Hal ini menyebabkan pemanfaatan tumbuhan sebagai pemulih kualitas
lingkungan semakin populer dan digemari.
Tumbuhan memiliki kemampuan
yang disebut phytopumping, yaitu kemampuan menyerap air melalui akar dan
air yang diserap akan mengalami transpirasi melalui daun yang dibantu oleh
sinar matahari. Kemampuan phytopumping yang dimiliki oleh tumbuhan dapat
membantu perbaikan sanitasi (Mangkoedihardjo, 2007). Hal ini dikarenakan
zat-zat pencemar yang terjangkau oleh akar dapat terserap oleh akar tumbuhan.
Tumbuhan darat, terutama tumbuhan yang memiliki jangkauan akar yang panjang dan
luas sangat efektif digunakan sebagai pereduksi zat pencemar. Zat pencemar
tersebut bukan hanya zat pencemar yang masuk melalui akar, namun berlaku juga
untuk zat pencemar yang ada di udara.
Pemanfaatan tumbuhan sebagai
penjaga kualitas lingkungan memunculkan konsep tentang Ruang Terbuka Hijau
(RTH) yang saat ini sudah marak dilaksanakan di perkotaan sebagai solusi
masalah lingkungan. Keberadaan RTH penting dalam mengendalikan dan memelihara
integritas dan kualitas lingkungan. Kelestarian RTH suatu wilayah perkotaan
harus disertai dengan ketersediaan dan seleksi dengan tanaman yang sesuai
dengan arah dan rancangannya (Lab. Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur
Lanskap, 2005).
S eleksi tanaman sebagai
pendukung konsep RTH harus dilakukan dengan banyak petimbangan. Seleksi jenis
tanaman dilakukan berdasarkan keuntungan dan kerugian yang didapatkan jika tumbuhan
digunakan untuk RTH.
Gamal (Gliricidia sepium)
dan Mimba (Azadirachta indica) merupakan jenis tanaman darat yang kuat,
tahan hama, serta memberikan nilai ekonomis. Kedua jenis tumbuhan ini sangat
cocok diterapkan untuk RTH. Gamal memiliki kemampuan sebagai penahan tanah dan
mampu mereklamasi tanah, sedangkan mimba memiliki kemampuan untuk menahan angin
(Agus, F dan Rahayu, S, 2004 dan Anonim, 2006). Kemampuan kedua jenis
tumbuhan memungkinkan untuk mereduksi dampak kerusakan dan kerugian yang terjadi
akibat bencana alam yang sering terjadi di Indonesia seperti tanah longsor,
banjir, angin topan, bahkan tsunami. Pemanfaatan tanaman Gamal dan Mimba untuk
penerapan RTH di wilayah beriklim tropis seperti Indonesia merupakan solusi
yang sangat menguntungkan dan menarik untuk dibahas.
1.2 Perumusan Masalah
Karya tulis ini akan membahas
tentang penerapan RTH dengan memanfaatkan tanaman Gamal dan Mimba sebagai jenis
tanaman yang memberikan banyak keuntungan. Beberapa pertanyaan yang melandasi
pembahasan dalam karya tulis ini antara lain:
- Mengapa konsep RTH perlu diterapkan dalam menjaga sanitasi yang baik dan sebagai pelindung dari bencana alam?
- Dasar apakah yang menjadi pertimbangan pemilihan Gamal dan Mimba sebagai jenis tanaman yang sangat menguntungkan untuk diterapkan dalam RTH?
- Bagaimana mekanisme RTH dengan menggunakan Gamal dan Mimba untuk melindungi lingkungan dari bahan-bahan pencemar dan serangan bencana alam?
- Bagaimana penerapan RTH untuk mewujudkan perlindungan yang optimal dari bahan-bahan pencemar dan bencana alam?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan karya
tulis ini antara lain:
- Memberikan informasi mengenai dampak negatif yang akan terjadi akibat buruknya sanitasi jika tidak segera dilakukan tindakan pemulihan lingkungan.
- Memberikan informasi mengenai bencana yang sering melanda Indonesia serta kerugian yang ditimbulkan.
- Memberikan usulan mengenai solusi untuk mengatasi masalah sanitasi serta antisipasi kerusakan dan kerugian akibat bencana alam melalui pendekatan yang berbasis ekologi dan ramah lingkungan, berupa RTH yang dapat diterapkan.
- Memberikan informasi mengenai tanaman Gamal dan Mimba sebagai tanaman yang sangat baik digunakan untuk penerapan RTH di daerah tropis seperti Indonesia.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diambil
dari karya tulis ini adalah:
- Solusi dalam karya tulis ini dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat serta perekonomian.
- Bahasan dalam karya tulis ini dapat memberikan informasi mengenai salah satu kekayaan alam Indonesia berupa tanaman Gamal dan Mimba yang mempunyai banyak manfaat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan manusia, sehingga dapat mendorong publikasi kedua jenis tanaman yang sangat bermanfaat tersebut.
- Karya tulis ini dapat memberikan konsep mengenai gambaran pengaturan RTH yang berbasis reduksi bahan pencemar dan perlindungan dari bahaya bencana alam khususnya yang berhubungan dengan penggunaan tanaman Gamal dan Mimba.
1.5 Ruang Lingkup
Pembahasan
Karya tulis ini akan membahas
solusi permasalahan sanitasi dan kerusakan serta kerugian yang diakibatkan oleh
bencana alam melalui konsep RTH dengan memanfaatkan tanaman Gamal dan Mimba.
Tanaman Gamal dan Mimba dipilih untuk dimanfaatkan dalam RTH dengan tujuan
menjaga kualitas sanitasi berdasarkan kualifikasi karakteristik yang dimiliki
keduanya. Solusi yang dipaparkan dalam karya tulis ini mempunyai misi untuk
meningkatkan kualitas lingkungan yang pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas
kesehatan dan perekonomian masyarakat.
BAB
II
TELAAH
PUSTAKA
2.1
Masalah Sanitasi di Indonesia
2.1.1
Kondisi Sanitasi di Indonesia
Sanitasi yang dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan
sebagai usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan yang baik di bidang
kesehatan masyarakat (Antara News, 14 Desember 2006). Terdapat hubungan
yang erat antara masalah sanitasi dan penyediaan air. Hampir tiap orang
mengetahui masalah air, tapi tidak banyak yang mengetahui bahwa ada masalah
sanitasi yang sama seriusnya dengan masalah air yang telah mendapat publikasi
lebih baik. Semua penyakit yang berhubungan dengan air sebenarnya berkaitan
dengan pengumpulan dan pembuangan limbah manusia yang tidak benar. Memperbaiki
kualitas air tanpa memperhatikan masalah sanitasi sangatlah tidak efektif (Middleton
dalam Seri Makalah Hijau).
Indonesia merupakan negara
yang memiliki sistem sanitasi terburuk ketiga di Asia Tenggara setelah Laos dan
Myanmar. Meski dampaknya sangat terasa, sampai sekarang buruknya sanitasi di
negeri ini belum mendapat perhatian bersama. Bahkan, pemerintah pun belum
memberikan perhatian sebagaimana mestinya (Antara News, 2006). Buruknya
sanitasi bukan hanya terkait masalah kesehatan, tetapi juga citra sebuah kota,
bahkan negeri. Selain dianggap sebagai negeri yang kotor, buruknya sanitasi
juga menimbulkan kesan tidak memiliki hidup yang sehat. Artinya, masalah
sanitasi tidak akan selesai bila tidak ada kemauan politik yang kuat untuk
melaksanakan pembangunan yang prorakyat miskin, prokesehatan, dan prolingkungan
(Rosita, 2007).
Pelayanan sanitasi di
Indonesia masih menunjukkan tingkat kesenjangan yang tinggi, hal ini dapat
dilihat pada diagram Gambar 2.1. (diadaptasi dari The World Bank, 2006).
Sumber:
Analisa Data Sumber Demografi dan Kesehatan 2002/2003 dalam The World Bank,
2006
Cakupan layanan sanitasi di
Indonesia merupakan yang terburuk di kawasan masyarakat miskin dengan kurang
dari satu persen dari seluruh penduduk Indonesia yang mempunyai akses ke sistem
pipa pembuangan kotoran. Data survei menunjukkan bahwa 80 persen dari
masyarakat miskin pedesaan dan 59 persen dari masyarakat miskin perkotaan tidak
mempunyai akses terhadap sanitasi yang memadai (The World Bank, 2006).
Sekitar 65 persen rumah di
perkotaan Indonesia memiliki septic tank. Hal ini menunjukkan bahwa septic
tank masih jadi pilihan favorit untuk menangani masalah sanitasi rumah
tangga di Indonesia. Ini bisa menjadi persoalan besar karena hingga saat ini
hampir tidak ada ketentuan yang mengatur septic tank. Memang ada Standar
Nasional Indonesia untuk konstruksi septic tank, tetapi aturan lainnya
belum ada, termasuk soal batasan jumlah septic tank per satuan luas
kawasan dan kewajiban bagi pemilik rumah untuk secara rutin melakukan
penyedotan. Selain itu, tak ada pula pihak yang merasa berkepentingan memeriksa
kondisi septic tank di wilayahnya. Padahal secara kolektif adanya septic
tank akan mempengaruhi kualitas air tanah dan pada akhirnya akan berdampak pada
kesehatan jutaan orang (Rosita, 2007).
Masalah pencemaran udara juga
termasuk dalam masalah sanitasi. Sebagian besar pencemaran udara terjadi di perkotaan.
Menurut Arisandi dalam Terranet (24 Januari 2002), penyebab utama
dari permasalahan pencemaran udara adalah produk buangan gas yang dihasilkan
alat transportasi dan industri.
2.1.2
Masalah Ekonomi yang Berhubungan Dengan Masalah Sanitasi
Sanitasi yang buruk di negara
Indonesia memberikan dampak kerugian ekonomi sedikitnya Rp.40 triliun, belum
lagi dampak kesehatan di mana masyarakat miskin harus mengeluarkan sedikitnya
25 persen penghasilannya hanya untuk membayar dampak dari sanitasi yang buruk.
Misalnya saja masyarakat harus membayar pengobatan akibat serangan berbagai
penyakit akibat sanitasi buruk, membayar keperluan air bersih, membayar
keperluan mandi cuci dan kakus (MCK) dan sebagainya (Tri Utomo dalam Antara
News, 14 Desember 2006).
Biaya pengumpulan, pengolahan
dan pembuangan limbah meningkat dengan cepat begitu konsumsi meningkat.
Merencanakan hanya satu sisi penyediaan air tanpa memperhitungkan biaya
sanitasi akan menyebabkan kota berhadapan dengan masalah lingkungan dan biaya
tinggi yang tak terantisipasi (Middleton dalam Seri Makalah Hijau).
2.2
Masalah Bencana Alam
2.2.1
Bencana di Indonesia Serta Kerugian yang Ditimbulkan
Dalam sebuah artikel WALHI (26 Juni 2007) yang
ditulis oleh Halid Muhammad tertulis:
Bencana
adalah suatu situasi dimana cara masyararakat untuk hidup secara normal telah
gagal sebagai akibat dari peristiwa kemalangan luarbiasa, baik karena peristiwa
alam ataupun perbuatan manusia (Sphere Project, 2000).
Bencana
ekologis adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan
dan gagalnya sistem pengurusan alam yang telah mengakibatkan pranata kehidupan
masyarakat menjadi colapse (WALHI, 2006).
Indonesia adalah negeri yang
rawan dan rentan terhadap bencana, baik yang berasal dari alam maupun yang
terjadi akibat salah memperlakukan alam (perbuatan manusia). Dalam catatan
akhir tahun WALHI 2006, dinyatakan bahwa 83% wilayah Indonesia masuk
dalam kategori rawan bencana. Dalam kurun waktu lima tahun, 1998-2004 terjadi
1150 kali bencana, dengan korban jiwa 9900 orang serta kerugian sebesar Rp 5922
miliar. Tiga bencana utama adalah banjir (402 kali, korban 1144 jiwa, kerugian
Rp. 647,04 miliar), kebakaran (193 kali, korban 44 jiwa, kerugian Rp. 137,25
miliar) dan tanah longsor (294 kali, korban 747 jiwa, kerugian Rp. 21,44
miliar). Pada tahun 2006 WALHI mencatat telah terjadi lebih dari 135 kali
bencana ekologis yang menyebabkan lebih dari 6000 orang meninggal dunia, lebih
dari 25.000 keluarga kehilangan rumah, lebih dari 1 juta orang menjadi
pengungsi, serta menimbulkan kerugian ekonomi lebih dari Rp. 60 triliun (WALHI,
2007).
Rentetan bencana yang saat ini
terjadi menunjukan bahwa bencana akibat kesalahan dalam memperlakukan alam
terus mengalami peningkatan. Lima tahun terakhir (2001- 2006) telah terjadi
peningkatan banjir, longsor, kebakaran hutan, gagal panen, gagal tanam dan
kekeringan secara signifikan. Dampak dari bencana tersebut bukan hanya pada
korban jiwa dan benda, namun berdampak pula pada produksi pertanian,
tercemarnya sumber air serta masalah sosial yang lebih luas seperti pengungsi
dan migrasi penduduk (WALHI, 2007).
Manajemen Bencana Sebagai
Langkah Penanggulangan Dampak negatif Bencana
Masalah bencana berkaitan dengan isu
yang luas, bukan saja masalah ekonomi, tetapi masalah sosial, ekologi, bahkan
merambah ke wilayah politik. Ketidakmampuan menangani bencana bisa berakibat
fatal terhadap kepercayaan masyarakat kepada penguasa (Djohanputro, 2006).
Dampak negatif dari bencana begitu besar sehingga diperlukan adanya manajemen
bencana untuk meminimalisasi atau bahkan menghindari kerugian dan
penderitaan.
University of Wisconsin
mendefinisikan manajemen bencana sebagai:
the range of activities
designed to maintain control over disaster and emergency situation and to
provide a framework for helping at-risk persons to avoid or recover from the
impact of disaster. Disaster management deals with situation that occurs prior
to, during, and after the disaster. (serangkaian kegiatan yang didesain
untuk mengendalikan situasi bencana dan darurat dan untuk mempersiapkan
kerangka untuk membantu orang yang rentan-bencana untuk menghindari atau
mengatasi dampak bencana tersebut. Manajemen bencana berkaitan dengan situasi
yang terjadi sebelum, selama, dan setelah bencana) (Djohanputro, 2006).
Pada prinsipnya, manajemen bencana
dilakukan sejak sebelum bencana terjadi, bukan pada saat dan setelah bencana
terjadi. Tujuan manajemen bencana yang baik adalah:
- Menghindari kerugian pada individu, masyarakat, maupun negara melalui tindakan dini (sebelum bencana terjadi). Tindakan ini termasuk pencegahan. Tindakan ini efektif sebelum bencana itu terjadi. Tindakan penghindaran biasanya dikaitkan dengan beberapa upaya. Pertama, penghilangan kemungkinan sebab. Kalau bencana itu bisa disebabkan oleh kesalahan manusia, tindakan penghilangan sebab tentunya bisa dilakukan, tetapi hal ini akan sulit bila penyebabnya adalah alam yang memiliki energi di luar kemampuan manusia untuk melakukan. Oleh karena itu, tindakan penghindaran bencana alam lebih diarahkan pada menghilangkan, atau mengurangi kondisi, yang dapat mewujudkan bencana. Contoh “kondisi” yang dimaksud adalah struktur bangunan. Kondisi bangunan yang baik bisa meminimalisasi atau menghilangkan risiko bencana. Struktur bangunan yang sesuai untuk kondisi gempa menyebabkan bangunan tahan terhadap goncangan, sehingga kerugian manusia, fisik, ekonomi, dan lingkungan bisa dihindari.
- Meminimalisasi kerugian pada individu, masyarakat, maupun negara berupa kerugian yang berkaitan dengan orang, fisik, ekonomi, dan lingkungan bila bencana tersebut terjadi. Tindakan meminimalisasi kerugian akan efektif bila bencana itu telah terjadi. Tetapi perlu diingat, piranti tindakan meminimalisasi kerugian itu telah dilakukan jauh sebelum bencana itu sendiri terjadi. Contoh, bencana alam dengan cepat akan menimbulkan masalah pada kesehatan akibat luka parah, bahkan meninggal. Maka, tindakan minimalisasi yang harus dilakukan sejak dini adalah penyebaran pusat-pusat medis ke berbagai wilayah, paling tidak sampai ke tingkat kecamatanan.
- Meminimalisasi penderitaan yang ditanggung oleh individu dan masyarakat yang terkena bencana.
- Memperbaiki kondisi (terutama infrastruktur) sehingga individu dan masyarakat dapat mengatasi permasalahan akibat bencana.
2.3 Phytopumping
Sebagai Kemampuan Tumbuhan Yang Memiliki Peran Dalam Reduksi Limbah Cair
Di alam ini, semua zat atau
bahan, akan mengalami proses daur ulang secara fisika, kimiawi, dan biologis.
Satu atau beberapa tahap dari proses daur ulang berlangsung dalam air, karena
air dapat melarutkan hampir semua jenis zat atau bahan (Khiatuddin, 2003).
Air limbah yang mengandung
berbagai senyawa kimia yang dibuang oleh manusia dan berbahaya bagi lingkungan
akan terurai (membusuk) di dalam perairan untuk menjadi senyawa kimia yang
lebih sederhana dan tidak berbahaya. Senyawa sederhana ini akan diserap kembali
oleh tumbuhan untuk disintesis menjadi senyawa kimia yang kompleks dengan bantuan
energi matahari (Khiatuddin, 2003). Kemampuan tumbuhan semacam ini oleh Mangkoedihardjo
(2007) disebut phytopumping, yang dapat dinyatakan sebagai
kemampuan tanaman menyerap air melalui akar dan air ditranspirasikan melalui
daun dengan bantuan energi matahari. Phytopumping mampu mengalihkan
limbah cair ke udara. Pelepasan limbah ke udara di sini dalam arti limbah cair
yang diserap oleh tumbuhan telah diubah menjadi zat yang lebih sederhana dan
tidak berbahaya.
Berkenaan dengan kemampuan phytopumping
tumbuhan, utamanya tumbuhan darat, maka tumbuhan dapat dilibatkan pengolahan
limbah secara on-site system dalam lingkup konsep evapotranspiration
bed (Mangkoedihardjo, 2007). Penerapan konsep evapotranspiration
bed pada dasarnya merupakan pemanfaatan kemampuan phytopumping
tumbuhan untuk menyerap bahan pencemar.
2.4
Nilai Essensial Ruang Terbuka Hijau
Ruang Terbuka Hijau (RTH) dikenal dengan istilah green
space atau open space. Pengertian Ruang Terbuka Hijau (RTH)
berdasarkan Perda No.7 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau,
pasal 1 adalah ruang kota yang berfungsi sebagai kawasan hijau pertamanan kota,
kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau
permakaman, kawasan hijau pertanian, kawasan hijau jalur hijau, dan kawasan
hijau pekarangan.
RTH berfungsi sebagai filter udara
dan daerah tangkapan air, dan mengurangi kadar zat pencemar udara serta
menambah kenyamanan kota. Hasil penelitian Puslitbang Nasional, menunjukkan
bahwa tanaman-tanaman yang terdapat di RTH dapat mereduksi polusi udara sekita
5 hingga 45%. RTH juga sangat efektif mengurangi efek-efek climatological
health pada lokasi pemusatan bangunan tinggi yang berakibat pada timbulnya
anomali-anomali pergerakan zat pencemar udara yang berdampak destruktif baik
terhadap fisik bangunan maupun mahluk hidup (Arisandi, 2003).
Penanaman tumbuhan atau vegetasi berkayu dapat memberikan
manfaat lingkungan
sebesar-besarnya seperti manfaat proteksi, estetika, rekreasi, dan penghasil O2. Kegunaan khusus lainya adalah sebagai peningkat kualitas lingkungan kota dan secara mikro dapat menciptakan kondisi yang nyaman dan ketercapaian keseimbangan antara lingkungan alam dengan lingkungan binaan (Arisandi, 2003).
sebesar-besarnya seperti manfaat proteksi, estetika, rekreasi, dan penghasil O2. Kegunaan khusus lainya adalah sebagai peningkat kualitas lingkungan kota dan secara mikro dapat menciptakan kondisi yang nyaman dan ketercapaian keseimbangan antara lingkungan alam dengan lingkungan binaan (Arisandi, 2003).
RTH memiliki nilai penting bagi
keseimbangan ekosistem dan harmonisasi hubungan antara manusia dan lingkungan
diantaranya:
- Tumbuhan ini memiliki kemampuan untuk mengakumulasi
logam berat Cu (Tembaga), Zn(Seng), Cd (Cadmium), Pb(Timbal/timah
hitam), dan Mn (mangan). Karena secara fisiologis unsur-unsur tersebut
digunakan hampir semua pohon sebagai katalisator reaksi metabolisme dan
berperan pada pembentukan organ tumbuhan. Semakin banyak pohon yang di
tanam
di sepanjang jalan,maka akan membantu menurunkan emisi logam berat di udara. - Keberadaan RTH dapat menciptakan iklim mikro yang dapat menunjang kehidupan makhluk hidup lainnya.
- Memberikan pengaruh positif pada kesehatan manusia, RTH
juga melepaskan anion (ion negatif) lebih besar ketimbang kawasan tanpa
pepohonan. Anion memberi pengaruh baik bagi kesehatan karena dapat
membunuh dan menghentikan aktivitas bakteri; mengurangi penyakit
pernapasan karena berfungsi mengaktifkan gerakan bulu getar hidung,
melebarkan saluran napas, menjaga peredaran darah normal, dan mengurangi kecepatan pernapasan; menaikkan kemampuan menyerap dan memanfaatkan oksigen, mengaktifkan pembaharuan sel dan meningkatkan fungsi pertahanan tubuh; serta menghilangkan kelelahan. - Pengelolaan RTH yang profesional dapat melahirkan suatu lokasi yang menyuguhkan unsur refreshing dan wisata bagi pengunjungnya, keberagaman pohon dan satwa yang ada juga memiliki unsur pendidikan lingkungan yang orisinil, sehingga tidak berlebihan bila hutan kota dapat dikemas menjadi sebuah tempat ekowisata (Objek wisata dengan mengenalkan unsur interaksi lingkungan).
- Pohon-pohon dalam lingkungan kehidupan perkotaan memberikan nuansa kelembutan. Perkembangan kota lazimnya diwarnai dengan aneka kekerasan, dalam arti kiasan kekerasan sedikit banyak dapat dilunakkan dengan elemen air atau pepohonan (Arisandi, 2003).
2.5
Penataan Distribusi Tumbuhan Dalam Konsep Tata Ruang Terbuka Hijau Berbasis
Topografi
Menurut Mangkoedihardjo (2007),
luas area untuk RTH dalam suatu area dapat ditentukan berdasarkan jumlah
penduduk. Jika ditilik bedasarkan variasi jumlah penduduk antar kota-kota,
penentuan area untuk RTH tidak dapat disamaratakan. Jika luas RTH telah
ditentukan, maka penentuan selanjutnya adalah bagaimana pendistribusian
vegetasi sebagai elemen RTH dalam suatu kota. Distribusi tumbuhan sangat cocok
diterapkan pada lahan basah (wetland), jalur garis sungai, dataran
tinggi, dan peletakan vegetasi menurut arah utara-selatan, yang pada dasarnya
mengikuti pedoman seperi intensitas matahari, pergerakan matahari, dan reaksi
foosintesis.
Pertumbuhan tanaman secara tidak langsung dipengaruhi oleh
radiasi sinar matahari. Intensitas cahaya matahari merupakan panduan alami
bagaimana vegetasi didistribusikan. Intensitas matahari lebih banyak pada
dataran tinggi dari pada dataran rendah, sehingga distribusi area RTH pada
dataran tinggi kota harus dijaga untuk menjamin tersedianya energi fotosintesis
yang optimal bagi tumbuhan. Hal ini juga mendukung pemikiran tradisional dan
penerapan konvensional bahwa penghijauan pada dataran tinggi dapat
memaksimalkan ketersediaan air tanah dan meminimalisasi runoff permukaan
yang pada akhirnya dapat mengurangi banjir pada dataran rendah (Mangkoedihardjo,
2007).
Memaksimalkan luas RTH pada
dataran tinggi dengan memperhatikan topografi kota merupakan hal yang menarik.
Pertimbangan yang mengiringi konsep tersebut adalah berapa banyak area RTH yang
harus didistribusikan pada lahan curam dan lahan landai. Hal ini mewakili
tujuan utama dari konsep tersebut yaitu untuk mereduksi runoff. Pada
akhirnya hasil berharga dari penerapan konsep ini adalah sebagai alat
perencanaan ruang kota secara khusus, dan integrasi manajemen persediaan air
secara umum (Mangkoedihardjo, 2007).
Peran RTH dalam keseimbangan
jatuhan air hujan sangat besar. Keseimbangan jumlah jatuhan air hujan dapat mengikuti
persamaan (1):
Qp = Qi + Qr ……………………(1)
Dimana:
Qp
= Jumlah jatuhan air hujan
Qi
= Jatuhan air hujan yang mengalami infiltrasi ke dalam tanah
Qr
= Jatuhan air hujan yang mengalami runoff.
Aliran infiltrasi (Qi) bergantung
pada karakteristik profil tanah, sehingga Formula Darcy Weisbach dapat
diterapkan sebagai berikut:
Qi = K x I x Av ……………………(2)
Dimana K merupakan permeabilitas
tanah sebagai nilai spesifik tempat, I dinyatakan sebagai headloss air
yang melalui kedalaman tanah, Av adalah luasan resapan air secara vertikal.
Sedangkan aliran runoff
(Qr) tergantung pada karakteristik permukaan tanah, karena itu Formula Manning
untuk hidrolika saluran dapat diaplikasikan sebagai berikut:
Qr = (1/n) x Ah x R2/3 x
S1/2 ……………………(3)
Dimana, n merupakan nilai kekasaran
konstan permukaan tanah. Ah adalah luas area runoff secara horizontal. R
adalah radius hidraulik secara horizontal dari luas area permukaan runoff.
S dinyatakan sebagai kemiringan tanah (topografi).
Jika perasamaan (2) dan (3)
dimasukkan dalam persamaan (1) akan didapatkan persamaan (4), sebagai berikut:
Qp = (K x I x Av) + ((1/n) x Ah x R2/3
x S1/2) ……………………(4)
Persamaan (4) dapat diterapkan
sebagai model distribusi RTH di perkotaan yang berbasis topografi (Mangkoedihardjo,
2007).
2.5.1
Kebutuhan Luas Area RTH Berkenaan Dengan Kualitas Udara
Menurut Anonim (1999),
pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan peradaban umat manusia yang
diiringi dengan meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil telah memunculkan
masalah krisis ekologi besar berupa pencemaran lingkungan skala dunia. Salah
satu bahan pencemar yang berada dalam jumlah besar adalah karbon dioksida (CO2)
yang menyebabkan berbagai permasalahan mulai dari masalah kesehatan hingga
hujan asam.
Untungnya RTH mampu menyerap karbon dioksida, karena karbon
dioksida dikonsumsi oleh tumbuhan sebagai zat-zat pembangun. Menurut Samudro,
G dan Mangkoedihardjo, S (2006), kemampuan RTH dalam menyerap karbon
dioksida mempunyai korelasi dengan ketersediaan air dan intensitas cahaya
matahari. Sehingga distribusi vegetasi sebagai pendukung RTH dapat diterapkan
berdasarkan keberadaan dua unsur pokok tersebut.
2.5.2
Pentingnya Peran RTH Sebagai Penyokong Daerah Pantai
Daerah pantai sangat rawan mendapat serangan berbagai
bencana. Salah satu yang sangat fenomenal adalah kasus bencana tsunami di Aceh.
Menurut Mancamedia (2006) tsunami adalah rangkaian gelombang laut
yang mampu menjalar dengan kecepatan hingga lebih 900 km per jam, terutama
diakibatkan oleh gempa bumi yang terjadi di dasar laut. Kecepatan gelombang
tsunami bergantung pada kedalaman laut. Di laut dengan kedalaman 7000 m
misalnya, kecepatannya bisa mencapai 942,9 km/jam. Kecepatan ini hampir sama
dengan kecepatan pesawat jet. Namun demikian tinggi gelombangnya di tengah laut
tidak lebih dari 60 cm. Akibatnya kapal-kapal yang sedang berlayar diatasnya
jarang merasakan adanya tsunami. (Mancamedia, 2006).
Tsunami terutama disebabkan
oleh gempa bumi di dasar laut. Tsunami yang dipicu akibat tanah longsor di
dasar laut, letusan gunung api dasar laut, atau akibat jatuhnya meteor jarang
terjadi. Tidak semua gempa bumi mengakibatkan terbentuknya tsunami. Syarat
terjadinya tsunami akibat gempa bumi adalah:
1. Pusat gempa terjadi didasar laut
2. Kedalaman pusat gempah kurang
dari 60 km.
Gambar
2.2 Mekanisme Terjadinya Tsunami
Sumber:
Mancamedia, 2006
Berdasarkan mekanisme terjadinya
tsunami, Mangkoedihardjo (2006, submitted), membuat suatu model
hidraulik untuk memperkirakan kecepatan tsunami yang akan menghantam daratan,
dengan menerapkan Formula Manning, dimana model pergerakan tsunami dianggap
sebagai suatu saluran terbuka. Formula tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Vr = (1/n) x R2/3 x S1/2
……………………(5)
Vr merupakan kecepatan runoff
tsunami, sedangkan n merupakan nilai kekasaran permukaan daratan yang
tergantung pada karakteristik permukaan tanah, R merupakan radius hidraulik
dari area muka runoff secara horizontal, sedangkan S merupakan slope
hidraulik, yaitu selisih ketinggian ombak pada waktu terjadi tsunami di mana
nilai slope hidraulik ini dapat dinyatakan juga sebagai headloss
(hf) atau kehilangan akibat gesekan sepanjang penyebaran air tsunami.
2.6 Gamal (Glicidia maculata) dan Mimba
(Azadirachta indica) Sebagai Sumber Daya Alam Hayati yang Penuh Potensi
2.6.1 Karakteristik
Gamal
Gamal dalam taksonomi
tumbuhan termasuk famili Fabaceae (Papilionoideae) yaitu
salah satu jenis tanaman yang mudah ditanam dan tidak memerlukan sifat tanah
khusus. (Manglayang Farm Online, 6 Maret 2006).
Gamal adalah pribumi di
kawasan Pantai Pasifik Amerika Tengah yang bermusim kering. Gamal diperkirakan
masuk ke Indonesia sekitar tahun 1900 untuk digunakan sebagai tanaman pelindung
pada areal perkebunan di daerah Medan (Harian Umum Suara Karya, 19 Mei 1992
dalam Manglayang Farm Online, 6 Maret 2006). Ciri umum Gamal adalah daun
menyirip, dengan bentuk daun oval runcing yang agak lebar, dan bunganya cukup
indah berwarna ungu keputihan. Tanaman Gamal tumbuh baik pada daerah dengan
ketinggian 0-1300 meter dari permukaan laut dan dapat tumbuh mencapai
ketinggian 10 meter (Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN) BIP Irian Jaya No.
110/92, 1992).
Sumber:
Manglayang Farm Online, 2006
2.6.2
Perkembangbiakan Gamal
Perkembangbiakkan Gamal sangat mudah. Tanaman ini dapat
diperbanyak melalui biji ataupun stek. Namun karena sukarnya mendapatkan biji
Gamal sebaiknya ditanam dengan menggunakan stek batang, karena lebih mudah dan
lebih cepat daripada melalui biji (Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN) BIP
Irian Jaya No. 110/92, 1992). Tanaman yang diperbanyak dengan stek sudah
dapat dipanen perdana pada usia di bawah 1 tahun (biasanya 8-10 bulan).
Sedangkan pada tanaman biji, hasil biomassa baru dapat diperoleh pada
usia sekira 2 tahun (Manglayang Farm Online, 6 Maret 2006).
2.6.3
Manfaat Gamal
Gamal dapat dimanfaatkan antara lain sebagai pakan ternak
yang banyak disukai oleh ternak ruminansia kecil seperti kambing dan domba (Lembar
Informasi Pertanian (LIPTAN) BIP Irian Jaya No. 110/92, 1992). Gamal
mempunyai nilai gizi yang tinggi, pencegah erosi, dan penyubur tanah. Kayunya
dapat digunakan sebagai kayu bakar, arang atau sebagai bahan bangunan dan alat
pertanian. Tanaman ini juga digunakan dalam berbagai sistem pertanaman, yaitu
sebagai pohon pelindung dalam penanaman teh, cokelat, atau kopi. Selain itu
juga berfungsi sebagai penyangga hidup untuk tanaman vanili, lada hitam, dan
ubi jalar. Manfaat lain yang lebih umum yaitu digunakan sebagai pagar hidup,
tanaman pupuk hijau pada pola tanam tumpang sari, sebagai penahan tanah pada
pola tanam lorong dan terasering. Selain itu, tanaman ini juga ternyata dapat
digunakan untuk mereklamasi tanah atau lahan yang gundul atau tanah yang rapat
ditumbuhi oleh alang alang (Imperata cylindrica) (Manglayang Farm
Online, 6 Maret 2006). Salah satu sebab mengapa Gamal cepat populer adalah
resistensinya terhadap hama kutu loncat (Heteropsylla cubana) yang telah
meluluhlantakan Lamtoro di berbagai belahan dunia tropis. (FAO, 1998).
Manfaat lain dari Gamal yaitu biji, pepagan, daun, dan
akarnya dapat digunakan sebagai rodentisida dan pestisida setelah terlebih
dahulu dilakukan fermentasi. Bunganya digunakan oleh lebah sebagai sumber
nutrisi dan zat gula dalam pembuatan madu lebah. Bahkan di beberapa daerah,
Gamal ditanam sebagai tumbuhan eksotik dan penghias taman karena memiliki bunga
berwarna lembayung yang indah (Manglayang Farm Online, 6 Maret 2006).
2.6.4
Karakteristik Mimba
Mimba dalam taksonomi tumbuhan termasuk famili Meliaceae
(dalam Anonim, 2005), yaitu pohon yang banyak ditemukan di India
maupun di tempat beriklim kering lainnya. Pohon ini tumbuh baik di
propinsi NTB dan NTT (Agus, F dan Rahayu, S, 2004).
Pohon mimba memiliki tinggi
8-15 m dan berbunga banci. Batangnya simpodial, serta kulit batangnya
mengandung gum dan pahit. Daun menyirip, berjumlah gasal dan
berpasangan, serta tepi daun bergerigi kasar. Bunga memiliki susunan
malai dan terletak di ketiak daun paling ujung. Tangkai bunga mempunyai panjang
1-2 mm dengan kelopak berwarna kekuningan. Mahkota bunga berwarna putih
kekuningan. Buahnya bulat dan berwarna hijau kekuningan (Anonim, 2005).
Asal usul tanaman Mimba tidak
jelas. Waktu berbunga antara Maret – Desember. Tumbuh di dataran rendah pada
daerah tropis. Tanaman ini tumbuh di daerah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Madura
pada ketinggian sampai dengan 300 m dari permukaan laut. Tumbuh di tempat
kering berkala, sering ditemukan di tepi jalan atau di hutan terang (Anonim,
2005).
Gambar
2.3 Tanaman Mimba (Azadirachta indica)
Sumber:
Anonim, 2003
2.6.5
Manfaat Mimba
Pohon ini mempunyai berbagai manfaat untuk pertanian
dan kesehatan serta dapat diintegrasikan dalam sistem agroforestri.
Pohon Mimba memberikan perlindungan bagi hewan, memproduksi bahan organik yang
dapat digunakan sebagai pupuk organik, pestisida dan insektisida, makanan
ternak, kayu bakar, dan cocok digunakan sebagai tanaman pagar serta penahan
angin. Kayunya keras dan tahan terhadap rayap. Dalam sistem agroforestri pohon
Mimba cocok ditanam di kebun campuran bersama pohon-pohon lain, tetapi karena
pohonnya rindang, maka kurang cocok untuk ditanam bersamaan dengan tanaman
pangan atau hortikultura semusim (Agus, F dan Rahayu, S, 2004).
Pupuk organik dari pohon Mimba
mengandung unsur hara yang penting untuk tanaman. Pestisida alami yang
terbuat dari mimba merupakan alternatif pestisida kimia bagi petani.
Biji dan daun pohon Mimba mempunyai rasa yang sangat pahit karena mengandung
zat azadirachtin. Zat tersebut efektif sebagai pestisida dan
insektisida. Serangga yang memakan daun yang telah disemprot insektisida mimba
akan terpengaruh, namun serangga yang menyerbukkan bunga, yaitu yang menghisap
nektar (cairan sari bunga), seperti lebah, tidak terpengaruh oleh azadirachtin.
Ekstrak daun mimba dapat berefek sebagai fungisida alami pada
pengendalian penyakit antraknosa pada apel pasca panen, serta berefek
insektisida terhadap larva Aedes aegypti (Agus, F dan Rahayu, S, 2004).
Bagi kesehatan masyarakat, daun
mimba dapat dimanfaatkan sebagai penambah nafsu makan, menanggulangi disentri,
borok, malaria, dan anti bakteri. Minyak Mimba dimanfaatkan untuk mengatasi
eksim, kepala yang kotor, kudis, cacing, menghambat perkembangan, dan
pertumbuhan kuman (Anonim, 2005). Kulit batang digunakan untuk mengatasi
nyeri lambung, penguat, dan penurun demam. Buah dan getahnya dapat digunakan
sebagai penguat. (dalam Agus, F dan Rahayu, S, 2004).
BAB
III
METODE
PENULISAN
3.1 Tahapan Penulisan
Penyusunan karya tulis ini memiliki
tahapan – tahapan dalam proses penulisannya sebagai landasan untuk
mengembangkan konsep dasar dalam perumusan permasalahan yang diangkat. Tahapan
– tahapan tersebut akan dijelaskan dalam tiap sub bab berikut.
3.1.1
Perumusan Tema dan Permasalahan
Tahap ini merupakan dasar pijakan untuk kelanjutan proses
penulisan, dimana pada tahap ini dirumuskan isi yang akan dibahas dalam karya
tulis. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menjabarkan tema berdasarkan
permasalahan yang diangkat.
3.1.2
Pengumpulan Dasar Teori dan Data
Tahap ini dilakukan sebagai
tindak lanjut dari tahap sebelumnya, dimana dasar teori dan data yang
dikumpulkan merupakan landasan untuk memperkuat perwujudan tema yang dibahas.
3.1.3
Analisa Masalah
Tahap selanjutnya adalah
analisa masalah dimana pada tahap ini dilakukan integrasi antara hasil analisa
permasalahan dengan dasar teori yang sesuai, sehingga hasil akhirnya berupa
solusi yang berlandaskan dasar yang sesuai.
3.1.4
Kesimpulan
Kesimpulan merupakan hasil
penyatuan dan inti dari keseluruhan isi karya tulis yang berupa uraian singkat
dan rekomendasi dari solusi yang dibahas dalam karya tulis ini.
3.2 Pengumpulan data
Data-data yang digunakan dalam
karya tulis ini dikumpulkan melalui beberapa metode, antara lain:
- Tinjauan Pustaka
Data-data diperoleh melalui text
book dan jurnal yang relevan.
- Tinjauan Media
Data-data yang diperoleh merupakan
input dalam penyusunan karya tulis ini yang diperoleh dari internet, media
cetak dan media elektronik informasi yang merupakan tambahan teori yang menajdi
acuan.
3.3 Metode Analisa
Metode pendekatan pada proses
analisa yang dilakukan dalam penulisan karya tulis ini adalah :
- Metode analisa deskriptif yaitu analisa untuk mengelola dan menafsirkan data yang diperoleh sehingga dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya pada obyek yang dikaji.
- Metode analisa komparatif untuk melihat perbandingan gagasan yang ditawarkan dengan beberapa teori yang relevan dengan gagasan.
3.4 Kerangka Berpikir
Gambar 3.1 Kerangka Penulisan Karya Ilmiah
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1 Pendistribusian RTH
Berdasarkan Tata Ruang Kota
Ruang Terbuka Hijau keberadaannya mutlak diperlukan di
perkotaan, terutama untuk mengatasi masalah sanitasi lingkungan. Pada
pembahasan ini, digunakan tumbuhan Gamal dan Mimba sebagai komponen pengisi
RTH.
Pendistribusian RTH dengan
menggunakan tanaman Gamal dan Mimba mempunyai beberapa sasaran wilayah utama
yang mempunyai korelasi dengan tujuan yang ingin dicapai sebelumnya, antara
lain:
- Daerah bantaran sungai
- Daerah yang memiliki sanitasi on-site system, seperti septic tank dengan area lahan yang cukup memadai untuk ditumbuhkan vegetasi berpohon rindang.
- Daerah Perkebunan dan sawah dengan sistem terasiring
- Daerah dataran tinggi atau mempunyai topografi yang curam (rawan longsor)
- Taman kota
- Daerah yang berdekatan dengan laut
- Daerah beriklim kering dengan penduduk mayoritas bermata pencaharian sebagai peternak.
4.2 Pendistribusian
RTH Dengan Memanfaatkan Tanaman Gamal dan Mimba Pada Daerah Bantaran Sungai
Pendistribusian tanaman Gamal
dan Mimba di area bantaran sungai mempunyai tujuan antara lain:
- Mencegah banjir di area bantaran sungai, di mana di Indonesia daerah bantaran sungai telah banyak dijadikan area permukiman. Dengan adanya Gamal dan Mimba yang berstruktur kuat dapat menahan air permukaan.
- Menambah nilai estetika, di mana Gamal dan Mimba mempunyai bunga yang cukup indah serta area menjadi teduh.
- Menambah pasokan oksigen dan menyerap karbon dioksida di daerah sekitarnya. Di mana berdasarkan Samudro, G dan Mangkoedihardjo, S (2006), ketersediaan air sangat mempengaruhi penyerapan tumbuhan dalam menyerap karbon dioksida.
- Penanaman Gamal dan Mimba yang didistribusikan di sekitar on-site system pengolahan limbah domestik penduduk seperti septic tank dapat membantu penyerapan zat pencemar organik di dalam septic tank. Misalnya Gamal dan Mimba di tanam di dekat sumur resapan dari septic tank atau di antara sumur resapan dengan sumber air seperti sumur. Hal ini akan membantu konsentrasi pengalihan zat pencemar dari dalam sumur resapan ke tanaman. Jadi zat pencemar yang seharusnya meresap ke dalam tanah dan kemungkinan dapat menjangkau air tanah atau sumber air, akan terserap ke tumbuhan. Namun untuk lahan yang kurang begitu luas, disarankan memakai tumbuhan Gamal karena ukuran pohonnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan mimba.
- Penanaman tanaman Gamal dan Mimba yang ditanam di daerah bantaran sungai juga dapat membantu penyerapan zat pencemar, karena adanya kemampuan phytopumping dari tumbuhan yang menarik zat pencemar melalui akar.
- Dapat mereduksi runoff sehingga infiltrasi air hujan dapat maksimal.
4.3 Pendistribusian
RTH Dengan Memanfaatkan Tanaman Gamal dan Mimba Pada Daerah yang Memiliki
Sanitasi On-Site System
Pendistribusian dapat dilakukan, misalnya dengan menanam
tanaman Gamal dan Mimba di sekitar sumur resapan, tangki penampung limbah
domestik, maupun septic tank. Penanaman di tepi lahan basah buatan
dengan tujuan pengolaahan limbah domestik akan sangat baik sekali diterapkan.
Sebab tumbuhan akan membantu sistem pengolahan limbah secara alami.
4.4 Pendistribusian
RTH Dengan Memanfaatkan Tanaman Gamal dan Mimba Pada Daerah Perkebunan dan
Sawah Dengan Sistem Terasiring
Pendistribusian tanaman Gamal dan Mimba pada daerah ini
tergantung dari jenis tanaman dalam perkebunan. Tidak disarankan ditanam di
dekat tanaman tanaman holtikultura atau semusim, sebab sifat rindang yang
dimiliki dapat mengurangi intensitas cahaya matahari pada tanaman perkebuann
tersebut. Jika jenis tanaman perkebuanan adalah tanaman rambat, Gamal dan Mimba
dapat digunakan sebagai inang dan penghambat pertumbuhan alang-alang. Sedangkan
fungsi yang umum dari kedua tanaman ini adalah untuk melindungi perkebunan,
misalnya sebagai pagar hidup. Penanaman tanaman Gamal dan Mimba di area
perkebunan dapat berfusngsi sebagai penahan laju angin topan, sehingga
kerusakan tanaman dapat direduksi. Fungsi lain adalah sebagai pasokan bahan
pestisida biologis bagi tanaman perkebunan.
Pendistribusian tanaman Gamal
dan Mimba pada areal persawahan dengan metode terasiring membantu dalam menahan
kekuatan struktur tanah dan menahan air.
4.5 Pendistribusian
RTH Dengan Memanfaatkan Tanaman Gamal dan Mimba Pada Daerah Dataran Tinggi atau
betopografi curam
Pendistribusian tanaman Gamal dan Mimba Pada dataran tinggi
sangat baik dilakukan terutama dengan tujuan menambah ruang hijau. Berdasarkan Mangkoedihardjo
(2007), pendistribusian tumbuhan di dataran tinggi dapat memberikan
intensitas cahaya matahari yang optimal bagi tumbuhan sehingga menunjang
pertumbuhannya. Selain itu dapat juga menambah nilai estetika dan memperkuat
struktur tanah sehingga mengurangi potensi terjadi tanah longsor.
Penataan distribusi tumbuhan
gamal dan Mimba ini tetap berbasis pada sifat topografi daratan untuk
mengoptimalkan intensitas cahaya matahari pada tumbuhan. Hal ini dapat
dilakukan dengan mengikuti arah utara-selatan, sehingga intensitas cahaya dapat
terdistribusi meata.
4.6 Pendistribusian
RTH Dengan Memanfaatkan Tanaman Gamal dan Mimba Pada Taman
Pendistribusian Gamal dan Mimba pada taman mempunyai tujuan
utama, sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbon dioksida, sebagai penambah
keteduhan taman, serta pelindung taman dari angin kencang di samping memiliki
fungsi menambah nilai estétika taman.
4.7 Pendistribusian
RTH Dengan Memanfaatkan Tanaman Gamal dan Mimba Pada Daerah yang bedekatan
dengan laut
Pendistribusian Gamal dan Mimba pada daerah yang dekat
dengan laut, dapat berfungsi untuk mengantisipasi kerusakan yang diakibatkan
oleh bencana tsunami yang bisa datang sewaktu-waktu. Berdasarkan Mangkoedihardjo
(2006, submitted), keberadaan tanaman yang kuat dapat menjadi peredam
kekuatan tsunami mengikuti Formula Manning, dimana dengan menggunakan
perhitungan Formula Manning akan dapat diketahui luas area penanaman
vegetasi yang dibutuhkan untuk mmeredam tsunami. Selain itu Gamal dan Mimba
juga sangat cocok tumbuh di dataran rendah
4.8 Pendistribusian
RTH Dengan Memanfaatkan Tanaman Gamal dan Mimba Pada Daerah Beriklim Kering
Dengan Mayoritas Penduduk Bermatapencaharian Sebagai Peternak
Tanaman Gamal dan Mimba sangat cocok
tumbuh dii daerah kering. Keduanya juga dapat digunakan sebagai pakan ternak yang
mempunyai nilai protein tinggi. Ternak yang dimaksud adalah ternak ruminansia
seperti sapi dan domba. Selain itu keberadaan Gamal dan Mimba di daerah kering
dapat digunakan untuk mencegah erosi.
BAB
V
KESIMPULAN
Penggunaan tanaman Gamal dan Mimba
dalam Penerapan RTH merupakan solusi efektif dalam menangani permasalahan
sanitasi lingkungan dan manajemen bencana alam. RTH merupakan alternatif
pemecahan masalah sanitasi lingkungan yang ramah lingkungan dan memberikan
banyak keuntungan. Keuntungan tersebut menjadi lebih besar dengan pemanfaatan
tanaman Gamal dan Mimba yang memiliki banyak manfaat. Sebagai salah satu sumber
daya alam hayati, tanaman gamal dan mimba sangat cocok diterapkan hampir di
semua wilayah di Indonesia, karena mempunyai daya adaptasi ayng baik. Sehingga
penerapan RTH dengan memanfaatkan tanaman Gamal dan Mimba merupakan solusi
efektif yang bkan saja dapat mengatasi masalah sanitasi lingkunagn tetapi juga
dapat berpartisipasi dalam manajemen bencana yang sering terjadi
di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 14 Desember 2006. Indonesia
Miliki Sanitasi Terburuk Ketiga di Asia Tenggara. Jakarta Pusat: Antara
News.
Middleton, Richard. Seri makalah
hijau: Pengumpulan sanitasi. IKIP Malang.
Rosita, Elly. 16 Maret 2007. Rekor
“Septic Tank” untuk Indonesia. Jakarta Pusat: Kompas.
The World Bank. 2006. Era Baru
Dalam Pengentasan Kemiskinan Indonesia. Jakarta:http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1152870963030/2753486-1165385030085/Ikhtisar.pdf
Arisandi, Prigi. 08 Desember 2003. Merindukan
Hutan Kota di tengah Panasnya Surabaya. Gresik: Lembaga
Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton).
WALHI. 26 Juni 2007. Bencana
Ekologis dan Keberlanjutan Indonesia. Jakarta. info@walhi.or.id
Djohanputro, Bramantyo, Ph.D, MBA,
IBF. 01 September 2006. Manajemen Bencana (Disaster Management). Sekolah
Tinggi Manajemen PPM.
Khiatuddin, Maulida. 2003. Melestarikan
Sumber Daya Air Dengan Teknologi Rawa Buatan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Mangkoedihardjo, Sarwoko. 2007. Phytopumping
Indices For Evapotranspiration Bed. Surabaya, Indonesia: Sepuluh Nopember
Institute Of Technology.
Samudro, G and Mangkoedihardjo, S.
2006. Water Equivalent Method For City Phytostructure Of Indonesia.
Surabaya, Indonesia: Department of Environmental Engineering, Sepuluh
Nopember Institute of Technology
Mangkoedihardjo, S. 2007 Perencanaan
Tata Ruang Fitostruktur Wilayah Pesisir Sebagai Penyangga Perencanaan Tata
Ruang Wilayah Daratan: Sebuah Kajian Dengan Pendekatan Energi, Ekosistem, dan
Ekologi. Surabaya, Indonesia: Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember. (Submitted)
Mangkoedihardjo. S. 2006.
The significance of greenspace in coastal area of Indonesia. Surabaya,
Indonesia: Laboratory of Environmental Technology, Department of Environmental
Engineering, Sepuluh Nopember Institute of Technology. (Submitted)
Ternyata km orang pinter jga yah..!
ReplyDeleteTernyata km orang pinter jga yah..!
ReplyDelete