Hari minggu pagi yang terik, Wira masih merasa
sangat malas untuk menyibak selimutnya yang hangat. Rupanya perasaan bersalah
bangun siang telah hilang dari hatinya, karena sudah sempat bangun saat subuh
tadi untuk shalat.
Samar-samar terdengar suara langkah kaki yang
semakin jelas. Tanpa alarm peringatan, tiba-tiba sebuah tangan yang terasa
dingin mencabut paksa selimut yang menutup hangat tubuhnya diikuti dengan
sebuah cubitan “mesra” yang sangat menggigit di pahanya.
“Auwwww….!!!” Wira berteriak kaget merasakan
sengatan tajam di pahanya. Refleks tubuhnya yang tidak terduga karena kaget,
membuat si pelaku pencubitan menjauh. Wira sontak menatap tajam sosok yang
mengganggu mimpinya di pagi bolong.
“Mama…!!!!” Suaranya pecah karena protes.
“Ayo bangun! Pemalas! Mentang-mentang hari minggu
lalu kamu mau tidur seharian?!”
Wajah Wira merajuk, dengan suara serak dia mengeluh
panjang sambil malas-malasan bangun. Kepalanya merasa pening dan hatinya
jengkel luar biasa. Terlebih, dia ingin tidur banyak-banyak karena tidak ingin
mengingat kejadian semalam yang mematahkan hatinya. Ya, email pengumuman hasil
seleksi karya tulis nasional tahun ini tidak memilih karyanya kembali.
Tiba-tiba suara mamanya dari jauh kembali terdengar.
“Ayo segera mandi! Nafasmu bau, malu dong kalau ada
tamu nanti!”
Wira tidak berkomentar, hanya memutar matanya dengan
wajah aneh dan bergegas menuju kamar mandi. Aroma sarapan pagi yang menggugah
selera membuatnya semakin mempercepat langkah ke kamar mandi. Saat melewati
gudang, dilihatnya sang ayah sedang membereskan barang-barang. Rupanya ayahnya
sudah mulai membereskan barang-barang menjelang kepindahan mereka ke rumah
baru.
Mata Wira yang setengah mengantuk menyusuri gudang
tua itu. Ayahnya tampak acuh tak acuh meskipun menyadari kehadirannya. Melihat
berbagai benda antik terabaikan yang mulai tersingkap keberadaanya, Wira jadi
tergoda membantu ayahnya ketimbang pergi ke kamar mandi.
Tangannya mulai meraih buku-buku tua di salah satu
sisi gudang. Suara gaduh yang ditimbulkan membuat ayahnya menoleh, “Kau
masukkan buku-buku itu ke dalam kardus biru di sebelah sana. Tampaknya tukang
loak adalah tempat terbaik untuk mereka”
“Termasuk ini?”, Wira tiba-tiba memegang sebuah
gulungan kertas yang tampak tua.
Wajah ayahnya tampak kaget dan mematung sejenak.
Perlahan, ayahnya mendekat dan mengambil gulungan kertas warna cokelat itu dari
tangan Wira.
“Apa itu pa? peta kuno?” Wira bertanya dengan suara
mengejek karena ayahnya yang cuek cukup menaruh perhatian untuk benda seperti
itu.
Beberapa detik ayahnya tidak menjawab dan terpaku
mengamati benda itu. “Kemarilah..” ayahnya mengajak Wira duduk di lantai. Wira mengernyit
penuh tanda tanya.
Perlahan, gulungan kertas yang tampak tidak istimewa
itu dibuka. Tampak sebuah kertas yang cukup lebar bertuliskan : PAPAN IMPIAN.
Wira heran melihatnya hingga melupakan untuk mengamati ekspresi ayahnya yang
tercenung memandang kertas penuh tempelan yang saat itu telah terbuka. Ada
gambar lelaki berjas dengan tulisan sebuah perusahaan konstruksi terkenal. Ada
gambar rumah mewah, diikuti mobil mewah, bahkan gambar seorang gadis cantik!
“Hehehe…” tawa ayahnya yang pelan memecah
keheningan, “aku telah lama melupakan benda ini”
Ayahnya lalu melanjutkan, “lihat Wira! Mimpi itu
perlu visualisasi untuk mendorongmu tetap berjalan menuju ke arahnya. Ini
adalah papan impian yang ayah buat sewaktu ayah seumuran kamu.”
“Hahaha…” Wira tertawa geli, “sumpah aku tidak
menyangka ayah bisa menjadi orang seperti itu.” Wira tiba-tiba merasa ayahnya
tidak mempedulikan ejekannya.
“Lihat Wira, papa sudah mencapai hampir semua yang
ada di papan ini!” Suaranya mulai gemetar karena keharuan. “Pekerjaan, rumah,
mobil, semuanya…”
“Tapi tampaknya tidak semuanya ayah…. Ayah tidak
bekerja di perusahaan konstruksi ini, mobil ayah juga bukan mobil sport seperti
ini, apalagi gadis ini! Hahaha…. Apakah dia mantan pacar ayah?? Astaga..!” Wira
menggeleng dengan tatapan tidak percaya.
“Sstt… jangan keras-keras Wir, ibumu ada di ruang
sebelah, kau tahu dia pencemburu!” Ayahnya
lalu melanjutkan, “Yah kamu benar Wir, tidak semuanya sama, tapi lihatlah,
lihat Wir..” Ayahnya berkata dengan semangat sambil menunjuk gambar-gambar
tersebut satu per satu.
“Ini adalah gambar yang dibuat bocah berumur 15
tahun tapi berdampak cukup besar hingga bocah itu dewasa. Memang bocah itu
tidak mendapatkan persis seperti gambar-gambar ini… tapi… coba lihat! Lihat
Wir! Bocah itu pernah memimpikan bekerja di perusahaan konstruksi, tapi kini
bocah itu malah mendapatkan pekerjaan di perusahaan telekomunikasi
internasional yang gajinya jauh lebih besar dari perusahaan konstruksi di negara
ini sekarang!” suara ayah Wira terdekar semangat. Setelah mengambil nafas
sejenak, dia melanjutkan, “Mobil dalam gambar ini mobil sport yang harganya
lebih murah daripada mobil yang ada di garasi bocah itu sekarang!”
“Lalu lihat, rumah ini…. Menurutmu tidak akan lebih
mewah daripada rumah baru yang akan kita tempati khan?” ayahnya tersenyum lebar
menatap Wira.
“Lalu pa, bagaimana dengan gadis ini?” Ini adalah
gambar paling membuat penasaran Wira sejak awal.
“Ah.. ya, namanya Andini, dulu ayah naksir setengah
mati padanya! Dulu Wir, sebelum ketemu mamamu”
Wira menatap wajah ayahnya dengan ekspresi tidak
percaya. Wira menggelengkan kepala sambil tertawa geli. Ayahnya yang menyadari
hal itu, langsung cepat-cepat menambahkan, “Untungnya gadis itu tidak pernah
naksir ayah, tapi ayah bersyukur, karena akhirnya ayah menikah dengan wanita
yang jauh lebih cantik darinya….. dan naksir papa juga tentunya.” Ayah Wira
mengedipkan mata dengan nakal.
“Nah, kamu pun lebih baik memvisualisasikan
mimpi-mimpi kamu mulai sekarang, tentunya dengan caramu sendiri. Oya, jangan
lupa dipajang di kamar ya. Karena tanpa kau sadari, setiap kamu memandang
mimpi-mimpi kamu, kamu akan mendapatkan kekuatan yang menggerakkanmu untuk melangkah
meraihnya. Yah… kalau pun suatu saat ada yang tidak tercapai, ayah akan jamin
melesetnya tidak akan jauh!”
Wira takjub mendengarkan nasihat ayahnya.
“Jadi Wira, lupakan kegagalanmu semalam, harus
bangun lagi, artinya kamu harus memantaskan diri kamu sehingga siap mengejar
mimpimu…”
Mendadak perasaan Wira menjadi sejuk. Wira memandang
wajah ayahnya dan berucap, “terimakasih yah… tampaknya aku tidak menyesal
bangun pagi hari ini…. Bukan hanya akhirnya mendapatkan nasehat ayah yang
berharga, tapi juga …. Mengetahui gadis impian ayah dulu! Hahaha…”
“Wira!” ayahnya pun melotot menatap Wira yang
tertawa.
“Tenang yah, mama tidak akan mendengar” Sambil
berkata demikian, Wira membalas kedipan mata ayahnya dengan nakal.