Friday 18 July 2014

Amazing Banyuwangi : Pantai Grajagan



Dari Sukamade ke Alas Purwo, saya sempatkan mampir dulu ke dua tempat yang tidak kalah bagusnya, Pantai Grajagan dan Pantai Mangrove Bedul. Selama perjalanan kami kembali melewati perkebunan cokelat sembari membawa oleh-oleh buah cokelat. Selain itu kami disuguhi pemandangan hutan yang menyejukkan mata. Hutan yang mendominasi perjalanan kami adalah hutan jati yang sebagian besar tampak meranggas di musim kemarau ini.



Untuk destinasi pertama saya, adalah Pantai Grajagan yang merupakan salah satu tim pantai selatan yang terletak di Kec. Purwohrjo. Hmm… sepertinya sudah bisa ditarik kesimpulan ya, pantai selatan Banyuwangi memang luar biasa oke! Pantai Grajagan ini merupakan pintu gerbang dari Pantai Plengkung atau G-Land, serta cocok juga buat surfing, namun katanya hanya peselancar professional saja yang cocok surfing di sini.
Pantai Grajagan yang mengingatkan pada masa kecil saya ini memiliki pantai yang bersih dan Indah. Selain itu terdapat wahana bermain untuk anak-anak, serta tiga goa buatan peninggalan Jepang. Letak Goa ini berada di dataran bukit. 




Taman dan tempat parkir yang rindang dan nyaman
 










Bagian kepala ikan lumba-lumba yang malang
 













Saya sempat penasaran mencari goa-goa tersebut. Saat itu suasana di pantai sedang sepi sekali. Hampir tidak ada orang, karena saat itu bukan hari libur. Kami berhasil menemukan salah satu goa yang berada di bawah bukit. 





Selanjutnya kami melanjutkan untuk mencari dua goa yang lain. Kami berhenti sejenak di salah satu sisi bukit dan menikmati pemandangan pantai yang sangat Indah. 


pemandangan yang luar  biasa eksotis dari atas bukit
 

Lalu kami melanjutkan pendakian dan entah kenapa, pada saat saya dan suami berusaha mencari dua goa sisanya, kami merasakan suasana yang spooky di jalur bukit tersebut. Perasaan saya sangat tidak enak pada saat hampir mencapai puncak. Kami menemukan situs yang dibatasi dengan besi. Kami bergidik, dan memutuskan untuk turun karena perasaan kami benar-benar tidak enak saat itu. Jalur yang kami lalui terasa lama tidak dijamah dan saya merasa seseorang ada di belakang saya. Kami pun ingin segera sampai di bawah.
spooky track
 






Sesampainya di bawah, perasaan kami lega luar biasa. Kami pun menikmati sekali lagi pantai yang Indah ini. Selanjutnya kami bergegas menuju destinasi yang sangat cocok untuk melepas stress : Pantai Bedul.

Amazing Banyuwangi : Sukamade



Tulisan ini adalah janji saya untuk menyuguhkan sisa perjalanan saya di Banyuwangi yang spektakuler. Barangkali kalau disuruh mengurutkan ranking tempat favorit selama perjalanan saya episode satu, tempat tersebut akan jatuh kepada SUKAMADE.
Saya sempat ragu untuk menulis tentang Sukamade, bukan karena tempat ini tidak pantas untuk diposting, malah sangat pantas bahkan. Saya mempunyai alasan tersendiri kenapa cukup lama menunda tulisan saya tentang Sukamade. Kalau saja saya tidak punya janji untuk menuliskannya, barangkali tempat ini saya simpan sendiri dalam pikiran saya.
Saya sesungguhnya sangat dilematis antara memamerkan tempat ini atau menyembunyikannya. Well, sebelum anda benar-benar membenci saya, ijinkan saya menjelaskan sesuatu. Bagi saya, Sukamade adalah destinasi penenangan diri. Salah satu tempat terujung. Di mana imajinasi saya bertemu dengan kedamaian saya. Keeksotisannya berpadu dengan kesunyiannya, membuat Sukamade ini sangaaat alami. Dan inilah yang membuat saya sangat menyukai tempat ini.
Akses yang sangat menyiksa menuju tempat ini, membuat saya sempat merutuk dalam hati saat keberangkatan. Namun, saat pulang, ada rasa sedih di hati saya. Saya sempat memegang jari suami saya dan berkata: “ Aku rasa, biarlah akses di tempat ini tetap sesulit ini. Aku tidak bisa membayangkan, tempat yang sangat alami ini akan rusak jika terlalu banyak yang berkunjung.”
Dilema memang, di sisi lain, tempat ini butuh kunjungan untuk menyegarkan dana pengelolaan tempat ini, di sisi lain kealamian yang merupakan roh tempat ini dapat terancam jika terlalu banyak manusia yang datang.
Anyway, Sukamade sebenarnya adalah nama Pantai yang terletak di Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pantai ini merupakan bagian dari Taman Nasional Meru Betiri. Di sini dilakukan konservasi terhadap penyu yang terancam punah. Konon, penyu-penyu yang terdampar di sini cukup beruntung, karena jika mereka terdampar di area pantai lain seperti Pantai Lampon, dsb, maka nasib mereka berakhir di panci masak!
Sebelum saya bicara lebih jauh tentang indahnya wajah Sukamade, saya akan bercerita betapa “mengasyikkannya” perjalanan menuju ke sana. Selepas saya berkunjung dari Teluk Hijau yang seperti surga, saya segera menuju ke surga lain bernama Sukamade. Seperti cerita saya sebelumnya di Teluk Hijau, saya menempuh perjalanan darat untuk keluar dari Teluk Hijau. Tanjakan yang sangat menyiksa dan merupakan ujian berat bagi saya. Namun akhirnya, saya berhasil keluar dari Teluk Hijau. Di tengah perjalanan saya sempat membatin iba pada salah seorang nenek yang mencoba trek darat di Teluk Hijau. Apakah dia mantan atlet? Atau orang nekat? Entahlah, yang jelas nampaknya hanya Tuhan yang bisa membantunya.
Sebelah kiri adalah akses darat menuju Teluk Damai (Pantai Batu - Teluk Hijau), sebelah kanan adalah akses menuju Sukamade
Akses menuju goa jepang, nantinya anda harus menanjak naik jika ingin ke Goa Jepang
Sesampainya di ujung trek perjalanan darat, sebenarnya saya ingin sekali berkunjung ke Goa Jepang. Tapi apa daya, saya langsung parno setengah mati membayangkan saya harus mendaki sekian kilo meter lagi hanya untuk melihat goa, yang kemungkinan besar berhantu dan hanya bisa saya potret di luarnya saja. Akhirnya dengan berat hati, saya mengabaikan salah satu destinasi tersebut. Selanjutnya saya langsung menuju Sukamade!
Jangan bayangkan jalan di Sukamade beraspal atau selembut jalan tol. Sepanjang (perkiraan saya dan supir) 40 km perjalanan, akan disuguhi area berbatu yang aduhai. Bayangkan ya, anda melewati jalan tanah, mendaki, yang dihiasi batu-batu gunung besar, yang membuat tubuh seisi mobil seperti kacang dalam plastic yang dikocok. Yah begitulah perjalanan itu selama berjam-jam! Seolah-olah hartop yang saya tumpangi menangis sedih karena harus melewati jalan yang seperti itu. Jika kengerian itu belum cukup bagi anda, saya akan berikan kejutan yang lain. Bayangkan, jalan yang seperti itu tadi lebarnya hanya sedikit lebih lebar dari mobil anda, dihiasi dengan tebing curam di sebelah kiri mobil anda di mana di bawah tebing itu adalah Pantai Teluk Hijau yang eksotis, dan di sebelah kanan anda adalah tebing hutan yang lebat. Saya sungguh tidak bisa membayangkan jika mobil saya berjumpa dengan mobil lain di depan. Tebakan saya sih, barangkali para supir yang lewat di sini sudah punya kode etik untuk tidak bertemu. Entahlah.
Pemandangan di sebelah kiri jalan yang merupakan tebing Teluk Hijau yang eksotis







Meski berjam-jam tubuh saya dikocok-kocok gak keruan, saya tetap berusaha menikmati. Sesekali saya akan memotret kawanan “budeng” atau lutung yang bergelayut di pepohonan, atau memotret tanaman-tanaman aneh di sepanjang jalan, kolang-kaling, dsb. 
Hasil keisengan sepanjang jalan
Kami memulai perjalanan dari Teluk Hijau siang hari, karena tidak ingin kemalaman sampai di Sukamade, maka supir kami menyarankan mengambil jalan pintas melewati sungai! Wah, ini perjalanan pertama saya melewati sungai dengan mobil! Jika mengambil rute ini, maka perjalanan bisa dihemat sekitar 15 km (taksiran saya).
Rute ini pun cukup sulit ditemukan, kecuali bagi yang sudah berpengalaman seperti supir saya. Karena itu saya merasa cukup beruntung. Akhirnya, saya pun mencoba sensasi lain dengan menaiki atap mobil sambil melewati sungai. Kapan lagi bertingkah seperti bocah, pikir saya.





Setelah itu perjalanan agak bersahabat, karena kami melewati rumah penduduk yang benar-benar ada di pelosok. Saya tidak bisa membayangkan hidup di tempat seperti itu.
Sekitar satu jam, kami sampai di Sukamade. Saat itu, hari sudah sore, sekitar pukul 16.30 kalau tidak salah. Kami segera masuk ke salah satu mess yang memang sudah kami pesan untuk menginap. Suasananya cukup sepi dan dikelilingi hutan. Benar-benar mengingatkan pada suasana kemah saat ospek kuliah. Listrik pun dibantu dengan genset yang mulai dinyalakan pada pukul 17.30 s/d Pkl.06.00 pagi. Jadi saran saya, hematlah baterai apapun, dari ponsel sampai kamera. Atau bawalah colokan T. Kenapa? Karena colokan dalam mess Cuma satu! Kalau pas lagi rame, ada wisatawan lain, bakalan rebutan. Nah, sialnya, saat itu ponsel saya mati, kamera saya sekarat. Dan colokan harus antri dengan turis Hongkong.

 
Salah satu dari empat kamar dalam mess
Kondisi dalam mess
Di saat semua wisatawan sibuk beristirahat setelah perjalanan ala milkshake di saat petang, saya dan keluarga melobi supir saya, yg juga punya kenalan di sana, untuk mengajak kami melepas tukik, alias anak penyu.
Sebelumnya, kami menyambangi tempat telur-telur penyu dierami  dengan tanah untuk ditetaskan. Telur yang menetas akan menjadi tukik yang akan dilepaskan ke pantai. Menangkapi tukik yang baru menetas sungguh pengalaman tidak terlupakan. 
Tukik kami yang siap dilepaskan di pantai
Rumah penetasan
 

Telur-telur dierami dalam pasir dan ditandai dengan papan tanggal pengeramannya. Tiga bulan kemudian telur akan menetas
 





Tukik-tukik yang baru menetas
Seekor tukik yang baru menetas: HUP !









Wah, kami berlima (saya, suami, adik, Pak Yanto – supir, pemandu) melewati hutan yang spooky banget. Bulu kuduk meremang, memang waktu petang saat jin keluar, apalagi di hutan yang jarang dirambah manusia. Namun, justru saat itulah, saya banyak bertemu binatang-binatang yang jarang ditemui manusia. Salah satunya menjangan yang bertanduk Indah. Saya berusaha memotretnya diam-diam, sayang, kamera saya belum punya lensa yang panjang, jadi tidak maksimal.
Selanjutnya kami masih harus jalan, mungkin sekitar 700 m melewati hutan sebelum mencapai Pantai. 

Spooky track
 






Sayup-sayup terdengar suara deburan ombak yang bergemuruh nun jauh di sana. Hati saya berdegup kencang. Saya mempercepat langkah saya. Suami dan adik saya sudah terpekik di depan yang membuat saya semakin penasaran. Benar saja, begitu mencapai tebing pantai yang kecil, mulut saya ternganga.
Ya Tuhan, ini surga! Batin saya. Saya tidak mempedulikan semua orang yang ada di sekitar saya. Pikiran saya hanya satu. Lahap semua pemandangan ini dengan kamera. Saya langsung memberi isyarat ke pemandu untuk tidak berani-berani melepas tukik tanpa saya. Artinya, mereka musti menuggu saya menjepret semua surga ini.
Saya memotret dengan liar. Saya tidak tahu teknik yang bagus dalam memotret. Yang saya tahu, pemandangan matahari terbenam dan paduan pemandangan pantai ini seolah memberi tahu saya tidak perlu susah-susah mengatur ISO atau apalah untuk mengabadikan mereka. Mereka sudah sangat-sangat Indah.
Tidak pernah saya merasa seintim ini dengan alam. Di pantai seluas berhektar-hektar ini, hanya ada alam dan kami berlima (barangkali). Hamparan pasir pantai yang luasnya bukan main seperti padang pasir. Di tepinya tebing hutan yang misterius. Langit seolah cemburu sehingga memaksanya untuk bersaing memamerkan keindahannya melalui matahari terbenam. Laut pantai selatan yang dramatis menjadi jiwa dari semua ini. Astaga, ini luar biasa!
































Kaki saya pun menapaki pasir pantai yang luas terhampar. Sial! Batin saya. Pasir ini jenis yang tidak padat ketika diinjak. Tentu saja, karena penyu akan menggali lubang dan beretelur di sini. Jenis pasir pantai yang seperti ini akan membuat berjalan di sini berkali kali lipat capeknya. Seperti berjalan di atas salju.
Sepanjang pantai, banyak saya temui sisa lubang penyu dan kulit telurnya. Rupanya, apabila tim konservasi penyu terlambat mengamankan telur penyu yang baru menetas, maka babi liar dan hewan lainnya akan berlomba-lomba untuk memakan telur-telur itu. 


Akhirnya kami pun bersiap melepas tukik, atau anak penyu ke pantai. Mereka sungguh sangat lucu dan mungil. Mahluk yang malang dan menggemaskan. Kami mencoba merasakan rasa tukik itu di kulit jemari kami. Mencoba bermain sebentar dengan mereka dan mulai melepaskan mereka. Perasaan seperti ini langka, karena itu ada banyak alasan untuk menghargainya.











Selepas itu, kami pun berjalan sepanjang kurang lebih 2 km di sepanjang pantai dan merasa hampir pingsan karena capeknya. Saya sudah tidak sanggup berjalan lagi di pantai yang sangat panjang ini. Kami akhirnya berbelok ke hutan lagi untuk berisitirahat karena magrib sudah hampir tiba.
Kami melewati sisi hutan yang berbeda dengan yang kami lewati tadi. Hutan di sini lebih tidak seram dibandingkan hutan yang kami lewati tadi. Meski demikian, namanya hutan lebat tetap saja menimbulkan bulu kuduk berdiri. Hari sudah gelap, hanya satu orang membawa senter, kanan dan kiri hutan lebat. Sesekali ada suara-suara binatang yang mengejutkan di dekat kami. Jantung saya udah mau copot berkali-kali. Rasanya perjalanan ini panjang sekali. Mungkin karena hanya kami berlima saja di tengah hutan yang lebat ini.
Kelegaan membuncah saat saya mencapai mess. Kami menyelinap supaya wisatawan tidak mencurigai kami yang telah mendapatkan pengalaman ekstra dibandingkan mereka. Sebenarnya kami melepas tukik lebih awal dibandingkan mereka karena besok pagi-pagi saat acara melepas tukik bagi wisatawan yang lain, kami harus pergi melanjutkan perjalanan ke Alas Purwo.
Akhirnya saya memasuki mess dan mendapati lampu sudah menyala. Saya pun segera mandi dan mendapati jika kamar mandinya cukup nyaman. Saya melanjutkan shalat maghrib dan merebahkan tubuh saya yang rasanya remuk. Tiba-tiba waktu makan sudah tiba. Kami pun memesan makanan di kantin. Menunya ada nasi goreng dan mie instan. Rasanya yah… so so aja lah. Lumayan buat energy nanti malam.
Adik saya langsung tertidur pulas selesai makan dan menolak untuk melihat penyu bertelur malam nanti. Akhirnya saya mengobrol bersama suami dan Pak Yanto. Obrolan kami sangat sangat mengasyikkan. Tidak ada pembicaraan tentang uang, kantor, atau hal-hal yang membuat saya bete.
suasana mess di malam hari
Tibalah Pukul 20.00 malam dan kami dihimbau berkumpul bersama wisatawan lainnya. Saya langsung bersiap-siap membawa kamera saya. Jujur, kaki saya sebenarnya masih terasa sangat sakit karena petualangan ekstrim seharian, dari Teluk Damai – Teluk Hijau – Pantai Batu – Sukamade. Tapi demi momen langka, yang belum tentu bisa saya ulang, saya tidak bisa berpikir dua kali untuk melewatkannya.
Setelah instruksi singkat dari pemandu, kami pun berbondong-bondong menuju pantai melewati hutan yang telah kami lewati saat pulang melepas tukik tadi. Suasananya tentu tidak semenakutkan saat kami hanya berlima tadi petang. Di sini lebih terasa seperti menyenangkan daripada menakutkan karena banyaknya orang. Orang-orang mengobrol riuh rendah.
Sesampainya di pantai, kami diinstruksikan supaya diam dan tidak bicara, serta mematikan alat penerangan apapun, karena hal ini akan membuat penyu enggan untuk naik bertelur. Kami pun serentak diam, meskipun ada satu dua orang yang masih berbisik-bisik, dan mematikan seluruh cahaya.  Kami mulai merasakan perasaan sangat mistis namun menakjubkan.
Satu hal yang membuat kami semua terkagum-kagum adalah pemandangan bintangnya yang luar biasa. Saya sangat terpukau dengan taburan bintang yang tampak raksasa di langit malam yang sangat jernih di sini.
Bayangkan, anda duduk di atas pasir, tanpa cahaya sama sekali. Sekitar anda adalah hutan yang mistis dan pantai yang berdebur dahsyat. Anda hanya merasakan mereka tapi tidak bisa melihatnya. Anda merasakan bau pantainya, anginnya. Dan yang paling luar biasa, anda hanya bisa melihat hitam pekat di manapun kecuali bintang-bintang yang luar biasa Indah di sekitar anda. Seolah-olah tidak ada jarak antara anda dan bintang-bintang. Seolah-olah anda berada di antah berantah, di antara galaksi yang melebur dengan anda. Anda merasa luar biasa dan merasa menjadi orang paling beruntung di dunia karena bisa menyaksikan hal seperti ini. Itulah yang saya rasakan. Magis!
Yang saya sesalkan adalah, baterai kamera saya sekarat dan saya tidak tahu bagaimana memotret bintang! Namun, momen itu abadi di otak saya. Luar biasa!
Kami berdiam seperti itu dan tidak bosan menatap langit yang luar biasa. Kami menunggu aba-aba dari pemandu untuk mendatangi penyu. Rupanya di sepanjang pantai ini telah ada “pakar” pengamat penyu yang akan bertelur. Mereka mengamati penyu yang akan naik untuk bertelur sehingga mereka dapat menentukan lokasi “perteluran” itu untuk dapat mengamankan telur penyu dari binatang liar. Jika ada penyu yang lolos dari pengamatan mereka, sudah hampir dapat dipastikan nasib telur mereka akan naas dimakan hewan liar.
Sebenarnya penyu yang naik ada beberapa, namun yang boleh ditonton hanya sedikit, bahkan mungkin Cuma satu. Hal ini untuk menjaga privasi penyu dalam bertelur. Siapa juga coba yang mau melahirkan sambil ditonton dan dipotret rame-rame khan. Akhirnya setelah menunggu kurang lebih dua jam, kesabaran kami terbayar. Ada seekor penyu yang telah terdeteksi. Kami pun berjalan lagi entah berapa jauh, yang jelas jauuuuuhhh sekali sampai saya mau pingsan.
Begitu sampai di lokasi yang ditentukan, saya sangat takjub. Ini pertama kalinya saya melihat penyu dengan mata kepala sendiri. Mahluk yang menakjubkan! Penyu kami berukuran cukup besar berdiameter lebar sekitar hampir 1 meter. Besar banget kan? Dia menggali tanah cukup lama yang cukup menguji kesabaran kami. Setelah itu dia baru menetaskan telur. Sontak kami semua harus antri untuk dapat foto bersama, yang sialnya kamera saya mati total karena baterainya koit!
Untung ada ponsel suami saya, yang meskipun tidak maksimal dalam gelap namun cukup lah. Akhirnya saya berpotret ria dengan si penyu. Mencoba memegang telurnya yang sebesar dan mirip bola ping pong. Selesai bertelur, si penyu menguruk kembali tanahnya. Nah selesai menguruk tanah itu, tim konservasi langsung mengambil telurnya yang bisa mencapai lebih dari seratus butir. Kedalaman galiannya cukup dalam, bahkan lebih dari satu meter! Mereka cukup berjuang memastikan tidak ada telur yang tertinggal di pantai.







Sebenarnya ada sedikit cerita misteri di sini. Saat saya dan wisatawan menunggu penyu bertelur, Pak Yanto yang ada di samping saya, yang merupakan cenayang, sempat melihat sesuatu, yang kalau saya boleh bilang, saya juga melihatnya sekelebat di tepi tebing hutan. Yang jelas mata saya sebagai orang awam hanya melihat sekelebat tidak jelas. Hal ini aneh, karena sekelebat itu ada di tepi hutan yang gelap. Hanya Pak Yanto yang bisa melihatnya dengan jelas. Tapi dia tidak mau memberitahu saya. Sepertinya dia tahu saya orang yang sangat penasaran dengan hal seperti itu. Pak Yanto lalu berjalan dan mengejar sendiri bayangan itu ke tepi hutan yang berjarak kira-kira 100 m dari kami. Saya sempat cemas kalau dia tidak kembali. Untungnya 30 menit kemudian dia kembali. Saya tidak tahu persis apa yang dilakukannya selama itu di sana.
Selanjutnya beberapa wisatawan memilih pulang karena prosesi sudah selesai. Jarum jam sudah menunjukkan sepuluh malam. Saya bersikeras menunggu untuk melihat penyu kembali ke laut. Namun rupanya, si penyu mempermainkan saya karena dia lama sekali ngendon di dekat lubangnya. Akhirnya saya menyerah karena ngantuk dan kecapekan, dan tidak mau sakit masuk angin akibat dihantam angin pantai selatan yang dahsyat dari tadi.
Saya kembali ke mess dalam perjalanan yang membuat saya hampir mati. Rasa lelah yang sangat luar biasa. Sampai di mess, saya rasanya langsung mau menjatuhkan diri ke ranjang, tapi saya ingat belum shalat isya. Akhirnya saya pun shalat dan langsung tertidur pulas.
Esok paginya, pukul 06.00 pagi kami kesiangan menuju Alas Purwo. Rencana awal kami meninggalkan mess pukul 05.00 pagi, tapi kami semua kesiangan sehingga perjalanan dilakukan pkl.06.00 pagi. Kami pun menuju destinasi wisata terakhir di rangkaian ekspedisi Banyuwangi tahap 1, menuju ibunya hutan di Jawa yang terkenal paling angker : Alas Purwo.


Pemandangan Desa Sarongan di pagi hari : Magnificent!


 

Pepaya kuning yang banyak tumbuh di Sarongan