Tulisan ini adalah janji saya untuk menyuguhkan sisa
perjalanan saya di Banyuwangi yang spektakuler. Barangkali kalau disuruh
mengurutkan ranking tempat favorit selama perjalanan saya episode satu, tempat
tersebut akan jatuh kepada SUKAMADE.
Saya sempat ragu untuk menulis tentang Sukamade, bukan karena
tempat ini tidak pantas untuk diposting, malah sangat pantas bahkan. Saya
mempunyai alasan tersendiri kenapa cukup lama menunda tulisan saya tentang
Sukamade. Kalau saja saya tidak punya janji untuk menuliskannya, barangkali
tempat ini saya simpan sendiri dalam pikiran saya.
Saya sesungguhnya sangat dilematis antara memamerkan tempat
ini atau menyembunyikannya. Well, sebelum anda benar-benar membenci saya,
ijinkan saya menjelaskan sesuatu. Bagi saya, Sukamade adalah destinasi
penenangan diri. Salah satu tempat terujung. Di mana imajinasi saya bertemu
dengan kedamaian saya. Keeksotisannya berpadu dengan kesunyiannya, membuat
Sukamade ini sangaaat alami. Dan inilah yang membuat saya sangat menyukai
tempat ini.
Akses yang sangat menyiksa menuju tempat ini, membuat saya
sempat merutuk dalam hati saat keberangkatan. Namun, saat pulang, ada rasa
sedih di hati saya. Saya sempat memegang jari suami saya dan berkata: “ Aku
rasa, biarlah akses di tempat ini tetap sesulit ini. Aku tidak bisa
membayangkan, tempat yang sangat alami ini akan rusak jika terlalu banyak yang
berkunjung.”
Dilema memang, di sisi lain, tempat ini butuh kunjungan
untuk menyegarkan dana pengelolaan tempat ini, di sisi lain kealamian yang
merupakan roh tempat ini dapat terancam jika terlalu banyak manusia yang
datang.
Anyway, Sukamade sebenarnya adalah nama Pantai yang terletak
di Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Pantai ini merupakan bagian dari Taman Nasional Meru Betiri. Di sini dilakukan
konservasi terhadap penyu yang terancam punah. Konon, penyu-penyu yang
terdampar di sini cukup beruntung, karena jika mereka terdampar di area pantai
lain seperti Pantai Lampon, dsb, maka nasib mereka berakhir di panci masak!
Sebelum saya bicara lebih jauh tentang indahnya wajah
Sukamade, saya akan bercerita betapa “mengasyikkannya” perjalanan menuju ke
sana. Selepas saya berkunjung dari Teluk Hijau yang seperti surga, saya segera
menuju ke surga lain bernama Sukamade. Seperti cerita saya sebelumnya di Teluk
Hijau, saya menempuh perjalanan darat untuk keluar dari Teluk Hijau. Tanjakan
yang sangat menyiksa dan merupakan ujian berat bagi saya. Namun akhirnya, saya
berhasil keluar dari Teluk Hijau. Di tengah perjalanan saya sempat membatin iba
pada salah seorang nenek yang mencoba trek darat di Teluk Hijau. Apakah dia
mantan atlet? Atau orang nekat? Entahlah, yang jelas nampaknya hanya Tuhan yang
bisa membantunya.
 |
Sebelah kiri adalah akses darat menuju Teluk Damai (Pantai Batu - Teluk Hijau), sebelah kanan adalah akses menuju Sukamade |
 |
Akses menuju goa jepang, nantinya anda harus menanjak naik jika ingin ke Goa Jepang |
Sesampainya di ujung trek perjalanan darat, sebenarnya saya
ingin sekali berkunjung ke Goa Jepang. Tapi apa daya, saya langsung parno
setengah mati membayangkan saya harus mendaki sekian kilo meter lagi hanya
untuk melihat goa, yang kemungkinan besar berhantu dan hanya bisa saya potret
di luarnya saja. Akhirnya dengan berat hati, saya mengabaikan salah satu
destinasi tersebut. Selanjutnya saya langsung menuju Sukamade!
Jangan bayangkan jalan di Sukamade beraspal atau selembut
jalan tol. Sepanjang (perkiraan saya dan supir) 40 km perjalanan, akan disuguhi
area berbatu yang aduhai. Bayangkan ya, anda melewati jalan tanah, mendaki,
yang dihiasi batu-batu gunung besar, yang membuat tubuh seisi mobil seperti
kacang dalam plastic yang dikocok. Yah begitulah perjalanan itu selama berjam-jam!
Seolah-olah hartop yang saya tumpangi menangis sedih karena harus melewati
jalan yang seperti itu. Jika kengerian itu belum cukup bagi anda, saya akan
berikan kejutan yang lain. Bayangkan, jalan yang seperti itu tadi lebarnya
hanya sedikit lebih lebar dari mobil anda, dihiasi dengan tebing curam di sebelah
kiri mobil anda di mana di bawah tebing itu adalah Pantai Teluk Hijau yang
eksotis, dan di sebelah kanan anda adalah tebing hutan yang lebat. Saya sungguh
tidak bisa membayangkan jika mobil saya berjumpa dengan mobil lain di depan. Tebakan
saya sih, barangkali para supir yang lewat di sini sudah punya kode etik untuk
tidak bertemu. Entahlah.
 |
Pemandangan di sebelah kiri jalan yang merupakan tebing Teluk Hijau yang eksotis |
Meski berjam-jam tubuh saya dikocok-kocok gak keruan, saya
tetap berusaha menikmati. Sesekali saya akan memotret kawanan “budeng” atau
lutung yang bergelayut di pepohonan, atau memotret tanaman-tanaman aneh di
sepanjang jalan, kolang-kaling, dsb.
 |
Hasil keisengan sepanjang jalan |
Kami memulai perjalanan dari Teluk Hijau siang hari, karena
tidak ingin kemalaman sampai di Sukamade, maka supir kami menyarankan mengambil
jalan pintas melewati sungai! Wah, ini perjalanan pertama saya melewati sungai
dengan mobil! Jika mengambil rute ini, maka perjalanan bisa dihemat sekitar 15
km (taksiran saya).
Rute ini pun cukup sulit ditemukan, kecuali bagi yang sudah
berpengalaman seperti supir saya. Karena itu saya merasa cukup beruntung.
Akhirnya, saya pun mencoba sensasi lain dengan menaiki atap mobil sambil
melewati sungai. Kapan lagi bertingkah seperti bocah, pikir saya.
Setelah itu perjalanan agak bersahabat, karena kami melewati
rumah penduduk yang benar-benar ada di pelosok. Saya tidak bisa membayangkan
hidup di tempat seperti itu.
Sekitar satu jam, kami sampai di Sukamade. Saat itu, hari
sudah sore, sekitar pukul 16.30 kalau tidak salah. Kami segera masuk ke salah
satu mess yang memang sudah kami pesan untuk menginap. Suasananya cukup sepi
dan dikelilingi hutan. Benar-benar mengingatkan pada suasana kemah saat ospek
kuliah. Listrik pun dibantu dengan genset yang mulai dinyalakan pada pukul
17.30 s/d Pkl.06.00 pagi. Jadi saran saya, hematlah baterai apapun, dari ponsel
sampai kamera. Atau bawalah colokan T. Kenapa? Karena colokan dalam mess Cuma satu!
Kalau pas lagi rame, ada wisatawan lain, bakalan rebutan. Nah, sialnya, saat
itu ponsel saya mati, kamera saya sekarat. Dan colokan harus antri dengan turis
Hongkong.
 |
Salah satu dari empat kamar dalam mess |
 |
Kondisi dalam mess |
Di saat semua wisatawan sibuk beristirahat setelah
perjalanan ala milkshake di saat petang, saya dan keluarga melobi supir saya,
yg juga punya kenalan di sana, untuk mengajak kami melepas tukik, alias anak
penyu.
Sebelumnya, kami menyambangi tempat telur-telur penyu
dierami dengan tanah untuk ditetaskan.
Telur yang menetas akan menjadi tukik yang akan dilepaskan ke pantai.
Menangkapi tukik yang baru menetas sungguh pengalaman tidak terlupakan.
 |
Tukik kami yang siap dilepaskan di pantai |
 |
Rumah penetasan |
 |
Telur-telur dierami dalam pasir dan ditandai dengan papan tanggal pengeramannya. Tiga bulan kemudian telur akan menetas |
 |
Tukik-tukik yang baru menetas |
 |
Seekor tukik yang baru menetas: HUP ! |
Wah, kami berlima (saya, suami, adik, Pak Yanto – supir,
pemandu) melewati hutan yang spooky banget. Bulu kuduk meremang, memang waktu
petang saat jin keluar, apalagi di hutan yang jarang dirambah manusia. Namun,
justru saat itulah, saya banyak bertemu binatang-binatang yang jarang ditemui
manusia. Salah satunya menjangan yang bertanduk Indah. Saya berusaha
memotretnya diam-diam, sayang, kamera saya belum punya lensa yang panjang, jadi
tidak maksimal.
Selanjutnya kami masih harus jalan, mungkin sekitar 700 m
melewati hutan sebelum mencapai Pantai.
 |
Spooky track |
Sayup-sayup terdengar suara deburan ombak yang bergemuruh
nun jauh di sana. Hati saya berdegup kencang. Saya mempercepat langkah saya.
Suami dan adik saya sudah terpekik di depan yang membuat saya semakin
penasaran. Benar saja, begitu mencapai tebing pantai yang kecil, mulut saya
ternganga.
Ya Tuhan, ini surga! Batin saya. Saya tidak mempedulikan
semua orang yang ada di sekitar saya. Pikiran saya hanya satu. Lahap semua
pemandangan ini dengan kamera. Saya langsung memberi isyarat ke pemandu untuk
tidak berani-berani melepas tukik tanpa saya. Artinya, mereka musti menuggu
saya menjepret semua surga ini.
Saya memotret dengan liar. Saya tidak tahu teknik yang bagus
dalam memotret. Yang saya tahu, pemandangan matahari terbenam dan paduan
pemandangan pantai ini seolah memberi tahu saya tidak perlu susah-susah
mengatur ISO atau apalah untuk mengabadikan mereka. Mereka sudah sangat-sangat Indah.
Tidak pernah saya merasa seintim ini dengan alam. Di pantai
seluas berhektar-hektar ini, hanya ada alam dan kami berlima (barangkali).
Hamparan pasir pantai yang luasnya bukan main seperti padang pasir. Di tepinya
tebing hutan yang misterius. Langit seolah cemburu sehingga memaksanya untuk
bersaing memamerkan keindahannya melalui matahari terbenam. Laut pantai selatan
yang dramatis menjadi jiwa dari semua ini. Astaga, ini luar biasa!
Kaki saya pun menapaki pasir pantai yang luas terhampar.
Sial! Batin saya. Pasir ini jenis yang tidak padat ketika diinjak. Tentu saja,
karena penyu akan menggali lubang dan beretelur di sini. Jenis pasir pantai
yang seperti ini akan membuat berjalan di sini berkali kali lipat capeknya.
Seperti berjalan di atas salju.
Sepanjang pantai, banyak saya temui sisa lubang penyu dan
kulit telurnya. Rupanya, apabila tim konservasi penyu terlambat mengamankan
telur penyu yang baru menetas, maka babi liar dan hewan lainnya akan
berlomba-lomba untuk memakan telur-telur itu.
Akhirnya kami pun bersiap melepas tukik, atau anak penyu ke
pantai. Mereka sungguh sangat lucu dan mungil. Mahluk yang malang dan
menggemaskan. Kami mencoba merasakan rasa tukik itu di kulit jemari kami.
Mencoba bermain sebentar dengan mereka dan mulai melepaskan mereka. Perasaan
seperti ini langka, karena itu ada banyak alasan untuk menghargainya.
Selepas itu, kami pun berjalan sepanjang kurang lebih 2 km
di sepanjang pantai dan merasa hampir pingsan karena capeknya. Saya sudah tidak
sanggup berjalan lagi di pantai yang sangat panjang ini. Kami akhirnya berbelok
ke hutan lagi untuk berisitirahat karena magrib sudah hampir tiba.
Kami melewati sisi hutan yang berbeda dengan yang kami
lewati tadi. Hutan di sini lebih tidak seram dibandingkan hutan yang kami
lewati tadi. Meski demikian, namanya hutan lebat tetap saja menimbulkan bulu
kuduk berdiri. Hari sudah gelap, hanya satu orang membawa senter, kanan dan
kiri hutan lebat. Sesekali ada suara-suara binatang yang mengejutkan di dekat
kami. Jantung saya udah mau copot berkali-kali. Rasanya perjalanan ini panjang
sekali. Mungkin karena hanya kami berlima saja di tengah hutan yang lebat ini.
Kelegaan membuncah saat saya mencapai mess. Kami menyelinap
supaya wisatawan tidak mencurigai kami yang telah mendapatkan pengalaman ekstra
dibandingkan mereka. Sebenarnya kami melepas tukik lebih awal dibandingkan
mereka karena besok pagi-pagi saat acara melepas tukik bagi wisatawan yang
lain, kami harus pergi melanjutkan perjalanan ke Alas Purwo.
Akhirnya saya memasuki mess dan mendapati lampu sudah
menyala. Saya pun segera mandi dan mendapati jika kamar mandinya cukup nyaman.
Saya melanjutkan shalat maghrib dan merebahkan tubuh saya yang rasanya remuk.
Tiba-tiba waktu makan sudah tiba. Kami pun memesan makanan di kantin. Menunya
ada nasi goreng dan mie instan. Rasanya yah… so so aja lah. Lumayan buat energy
nanti malam.
Adik saya langsung tertidur pulas selesai makan dan menolak
untuk melihat penyu bertelur malam nanti. Akhirnya saya mengobrol bersama suami
dan Pak Yanto. Obrolan kami sangat sangat mengasyikkan. Tidak ada pembicaraan
tentang uang, kantor, atau hal-hal yang membuat saya bete.
 |
suasana mess di malam hari |
Tibalah Pukul 20.00 malam dan kami dihimbau berkumpul
bersama wisatawan lainnya. Saya langsung bersiap-siap membawa kamera saya.
Jujur, kaki saya sebenarnya masih terasa sangat sakit karena petualangan
ekstrim seharian, dari Teluk Damai – Teluk Hijau – Pantai Batu – Sukamade. Tapi
demi momen langka, yang belum tentu bisa saya ulang, saya tidak bisa berpikir
dua kali untuk melewatkannya.
Setelah instruksi singkat dari pemandu, kami pun
berbondong-bondong menuju pantai melewati hutan yang telah kami lewati saat
pulang melepas tukik tadi. Suasananya tentu tidak semenakutkan saat kami hanya
berlima tadi petang. Di sini lebih terasa seperti menyenangkan daripada
menakutkan karena banyaknya orang. Orang-orang mengobrol riuh rendah.
Sesampainya di pantai, kami diinstruksikan supaya diam dan
tidak bicara, serta mematikan alat penerangan apapun, karena hal ini akan
membuat penyu enggan untuk naik bertelur. Kami pun serentak diam, meskipun ada
satu dua orang yang masih berbisik-bisik, dan mematikan seluruh cahaya. Kami mulai merasakan perasaan sangat mistis
namun menakjubkan.
Satu hal yang membuat kami semua terkagum-kagum adalah
pemandangan bintangnya yang luar biasa. Saya sangat terpukau dengan taburan
bintang yang tampak raksasa di langit malam yang sangat jernih di sini.
Bayangkan, anda duduk di atas pasir, tanpa cahaya sama
sekali. Sekitar anda adalah hutan yang mistis dan pantai yang berdebur dahsyat.
Anda hanya merasakan mereka tapi tidak bisa melihatnya. Anda merasakan bau
pantainya, anginnya. Dan yang paling luar biasa, anda hanya bisa melihat hitam
pekat di manapun kecuali bintang-bintang yang luar biasa Indah di sekitar anda.
Seolah-olah tidak ada jarak antara anda dan bintang-bintang. Seolah-olah anda
berada di antah berantah, di antara galaksi yang melebur dengan anda. Anda
merasa luar biasa dan merasa menjadi orang paling beruntung di dunia karena
bisa menyaksikan hal seperti ini. Itulah yang saya rasakan. Magis!
Yang saya sesalkan adalah, baterai kamera saya sekarat dan
saya tidak tahu bagaimana memotret bintang! Namun, momen itu abadi di otak
saya. Luar biasa!
Kami berdiam seperti itu dan tidak bosan menatap langit yang
luar biasa. Kami menunggu aba-aba dari pemandu untuk mendatangi penyu. Rupanya
di sepanjang pantai ini telah ada “pakar” pengamat penyu yang akan bertelur.
Mereka mengamati penyu yang akan naik untuk bertelur sehingga mereka dapat
menentukan lokasi “perteluran” itu untuk dapat mengamankan telur penyu dari
binatang liar. Jika ada penyu yang lolos dari pengamatan mereka, sudah hampir
dapat dipastikan nasib telur mereka akan naas dimakan hewan liar.
Sebenarnya penyu yang naik ada beberapa, namun yang boleh
ditonton hanya sedikit, bahkan mungkin Cuma satu. Hal ini untuk menjaga privasi
penyu dalam bertelur. Siapa juga coba yang mau melahirkan sambil ditonton dan
dipotret rame-rame khan. Akhirnya setelah menunggu kurang lebih dua jam,
kesabaran kami terbayar. Ada seekor penyu yang telah terdeteksi. Kami pun
berjalan lagi entah berapa jauh, yang jelas jauuuuuhhh sekali sampai saya mau
pingsan.
Begitu sampai di lokasi yang ditentukan, saya sangat takjub.
Ini pertama kalinya saya melihat penyu dengan mata kepala sendiri. Mahluk yang
menakjubkan! Penyu kami berukuran cukup besar berdiameter lebar sekitar hampir
1 meter. Besar banget kan? Dia menggali tanah cukup lama yang cukup menguji
kesabaran kami. Setelah itu dia baru menetaskan telur. Sontak kami semua harus
antri untuk dapat foto bersama, yang sialnya kamera saya mati total karena
baterainya koit!
Untung ada ponsel suami saya, yang meskipun tidak maksimal
dalam gelap namun cukup lah. Akhirnya saya berpotret ria dengan si penyu.
Mencoba memegang telurnya yang sebesar dan mirip bola ping pong. Selesai
bertelur, si penyu menguruk kembali tanahnya. Nah selesai menguruk tanah itu,
tim konservasi langsung mengambil telurnya yang bisa mencapai lebih dari seratus
butir. Kedalaman galiannya cukup dalam, bahkan lebih dari satu meter! Mereka
cukup berjuang memastikan tidak ada telur yang tertinggal di pantai.






Sebenarnya ada sedikit cerita misteri di sini. Saat saya dan
wisatawan menunggu penyu bertelur, Pak Yanto yang ada di samping saya, yang
merupakan cenayang, sempat melihat sesuatu, yang kalau saya boleh bilang, saya
juga melihatnya sekelebat di tepi tebing hutan. Yang jelas mata saya sebagai
orang awam hanya melihat sekelebat tidak jelas. Hal ini aneh, karena sekelebat
itu ada di tepi hutan yang gelap. Hanya Pak Yanto yang bisa melihatnya dengan
jelas. Tapi dia tidak mau memberitahu saya. Sepertinya dia tahu saya orang yang
sangat penasaran dengan hal seperti itu. Pak Yanto lalu berjalan dan mengejar
sendiri bayangan itu ke tepi hutan yang berjarak kira-kira 100 m dari kami.
Saya sempat cemas kalau dia tidak kembali. Untungnya 30 menit kemudian dia
kembali. Saya tidak tahu persis apa yang dilakukannya selama itu di sana.
Selanjutnya beberapa wisatawan memilih pulang karena prosesi
sudah selesai. Jarum jam sudah menunjukkan sepuluh malam. Saya bersikeras
menunggu untuk melihat penyu kembali ke laut. Namun rupanya, si penyu
mempermainkan saya karena dia lama sekali ngendon di dekat lubangnya. Akhirnya
saya menyerah karena ngantuk dan kecapekan, dan tidak mau sakit masuk angin
akibat dihantam angin pantai selatan yang dahsyat dari tadi.
Saya kembali ke mess dalam perjalanan yang membuat saya
hampir mati. Rasa lelah yang sangat luar biasa. Sampai di mess, saya rasanya
langsung mau menjatuhkan diri ke ranjang, tapi saya ingat belum shalat isya.
Akhirnya saya pun shalat dan langsung tertidur pulas.
Esok paginya, pukul 06.00 pagi kami kesiangan menuju Alas Purwo.
Rencana awal kami meninggalkan mess pukul 05.00 pagi, tapi kami semua kesiangan
sehingga perjalanan dilakukan pkl.06.00 pagi. Kami pun menuju destinasi wisata
terakhir di rangkaian ekspedisi Banyuwangi tahap 1, menuju ibunya hutan di Jawa
yang terkenal paling angker : Alas Purwo.
 |
Pemandangan Desa Sarongan di pagi hari : Magnificent! |
 |
Pepaya kuning yang banyak tumbuh di Sarongan |