Saturday 8 November 2014

Chiffon Cake Banana Versi Jelek Tapi Enak Banget

Dulu waktu belajar bikin Chiffon (sekarang juga masih belajar), saya pernah punya pengalaman memakai versi resep 7 butir telur. Hasilnya memang enak, tapi bukan kategori enaaaaaaakkk. Karena itu setelah beberapa kali percobaan dan tanya sana sini, saya sreg memakai versi 9 telur, yang notabene lebih enak dan lebih cottony. Tapi kembali lagi versi lidah masing-masing lho ya...

Akhirnya hari ini saya bertekad sekuat baja untuk membuat sebuah resep yang sudah lama sekali pengen saya praktekkan. Chiffon ketam hitam. Kok katanya resep ini "melegenda" gitu, makanya penasaran banget. Namun sayang banget, ternyata tepung ketan hitam saya bermasalah, jadinya batal dulu deh bikin episode ketan hitam, padahal udah bayang-bayangin rasanya bakalan mantap banget.

Daripada kecewa namun sudah terlanjur menyiapkan telur dkk, akhirnya episode chiffon tetap maju pantang mundur. Mulailah mengobrak abrik isi kulkas, apa kira-kira bahan yang bisa dijadikan persembahan hari ini. Untungnya, ada pisang ambon sisa kotakan dari nasi padang yang sempat kusimpan di kulkas. Melihat kondisinya sebenarnya butuh satu atau dua hari lagi sehingga pisang sudah cukup sip dan beraroma untuk dibikin kue. Namun apa daya bisanya bikin kue hari ini pas hari libur.

Akhirnya dimulailah project chiffon banana cake. Saya coba googling resep sana sini, kok kebanyakan memakai 7 butir telur ya... akhirnya bimbanglah saya, yah meskipun siapa tahu kalau dicoba enak memang ya, cuma entahlah tiba2 jiwa coba-coba saya keluar. Akhirnya, bertekad utak atik resep sendiri. Referensinya? hehehe ngawur, cuma nyontek-nyontek dikit miliknya Chiffon ketan hitam Alm. Ibu Ruri.

Hasilnya? Pengen ketawa saat mengeluarkan cake dari oven. Chiffon yang biasanya dindingnya lengket, eh udah lepas duluan. Udah gitu berpinggang, kacau banget, padahal cetakan tidak dilumuri apapun. Cakenya langsung lepas begitu saya balik. Jadi saya ketawa sendiri. Namun begitu saya tekan-tekan, kok kayaknya enak nih? maksudnya bisa dimakan gitu. Dan aromanya itu lho.... uhhhh menggoda iman... secara ada campuran bumbu spekulas yang berpadu dengan pisang.... aduuuhhh siapa coba yang ngga ngiler, tetanngga aja sampe ngintip2 hihihi. Tapi, penampilannya itu lho.... huuu... jelek banget. Sepertinya ada beberapa hal yang perlu diperbaiki ke depannya, terkait pengaturan suhu di mana tadi saya sempat teledor memanaskan oven sehingga cake pecah di atas, terus masalah bahan-bahan, sepertinya juga tepungnya kurang, dan entahlah, musti dievaluasi lagi bahan-bahannya.

Begitu dipotong, wah senang banget, dan lebih senang lagi begitu dimakan... enak banget dan sesuai yang saya inginkan.

Inilah resepnya:
Bahan A (campur jadi satu):
5 butir kuning telur
1/2 sdt baking powder double acting
80 gram pisang ambon, usahakan yang sudah matang banget (satu buah ukuran sedang), lumat dengan garpu
120 ml santan kara / santan kental
75 ml minyak sayur / minyak lainnya
80 gr tepung terigu protein sedang
1 sdt bumbu spekulas

Bahan B:
1/2 sdt garam
5 butir putih telur
150 gr gula palem

Cara:
Siapkan loyang chiffon, lebih baik yang bongkar pasang supaya enak melepasnya. Alasi dengan kertas roti dan panaskan dalam oven.

Campur bahan A hingga rata, sisihkan.


Kocok putih telur hingga berbusa, lalu tambahkan garam, kocok lagi hingga agak kaku.
Masukkan gula palem bertahap dan kocok lagi hingga putih telur kaku tapi tidak pecah (smooth) mirip jambul kalau pengocoknya diangkat.






Masukkan bahan B ke dalam bahan A ke dalam tiga step secara bertahap dan aduk dengan menggunakan spatula dengan teknik aduk balik hingga tercampur rata. Usahakan jangan ada putih telur yang tidak tercampur karena akan menimbulkan rongga dalam cake. Jangan terlalu lama mengaduk asal tercampur dengan rata.



Masukkan adonan ke dalam loyang yang telah dipanaskan sebelumya. Goyang-goyang loyang agar permukaannya rata. Masukkan ke dalam oven. Jangan memakai api terlalu besar atau terlalu kecil.


Panggang hingga matang, jika ditekan permukaannya maka akan membal, atau tusuk dengan lidi.

Keluarkan dari cetakan, dan jangan kaget karena akan berpinggang dan jelek sekali. Tunggu, hingga dingin dengan sendirinya. Potong-potong, lahap. Nyammmm enakkkk

Mirip pinggangku



Mampir Dulu ke Ciwidey Bandung

Sebenarnya sudah sangat terlambat untuk menulis ini, karena kegiatannya tujuh bulan yang lalu. Namun lebih baik saya mulai sekarang daripada tidak. Lumayan bisa buat kenang-kenangan.

Biasanya kalau ke Bandung di pikiran saya langsung otomatis menjurus ke makanan. Gambar pertama yang muncul di otak saya adalah tulang jambal yang pedas dan lezat itu. Lalu muncul teman-temannya yang lain seperti pie apel primarasa, brownies amanda, dsb. Namun, pada Bulan Mei lalu, tersisa dua hari sisa dinas saya di Bandung, saya tiba-tiba ingin jalan-jalan ke mana gitu, pokoknya yang melibatkan pemandangan alam, akhirnya saya kontak teman saya dan sepakat, kita jalan-jalan ke Ciwidey.

Perjalanan ke Ciwidey kami tempuh selama kurang lebih 3 jam dari Cigereleng dengan menaiki sepeda motor. Pilihan yang menyiksa menurut saya, karena pantat dan paha saya sangat tersiksa saat perjalanan pulang karena capek kelamaan duduk di motor. Kami berangkat pagi sekali karena jika kesiangan, selain panas juga akan terkena macet. Maklumlah Kota Bandung...

Awal perjalanan pemandangan yang tersuguh adalah perumahan yang membuat saya kurang tertarik. Namun, mendekati Gunung Patuha (kalo ga salah ya) udaranya langsung berubah dingin, pemandangannya langsung berubah menjadi hijau. Bahkan sudah mulai ada kebun teh mini. Wah saya senang sekali rasanya. Begitu memasuki Ciwidey, mulailah banyak kebun strawberry. Kalo ga ingat waktu saja saya pasti sudah minta mampir.





Salah satu Kebun Strawberry





Akhirnya saya berusaha mencueki aneka kebun strawberry di kanan kiri saya, meskipun hasrat untuk memetik strawberry semakin menggebu. Kami lalu meneruskan perjalanan ke tempat wisata yang pertama yaitu Kawah Putih. Perjalanan menuju Kawah Putih terasa menyenangkan karena banyak pepohonan yang mengingatkan saya akan Bukit Soeharto beberapa bulan yang lalu. Memang pastinya tidak selebat pohon di Bukit Soeharto, tapi cukuplah memberikan sedikit hawa-hawa Kalimantan tercinta. Begitu sampai di Kawah Putih, saya pun mencoba narsis-narsis sebentar, kapan lagi coba...




Lalu saya memasuki pintu gerbang Kawah Putih yang cukup asri dan bersih. Sekejap dan sekilas, pemandangan di sana sedikit mengingatkan saya dengan Sangeh. Tentunya tidak sedahsyat Sangeh, namun tetap saja cukup bagus. Kami pun mengendarai motor menuju area parkir. Teman saya bilang, dahulu pengendara sepeda motor boleh mengendarai sepedanya hingga masuk ke dalam sampai di tempat parkir dekat kawah. Namun rupanya sekarang berbeda. Pengendara motor harus memarkir motornya di parkir depan, sepertinya sih hanya pengendara mobil saja yang boleh membawa kendaraan hingga ke dalam. Namun ada juga mobil yang parkir di area ini. Hal ini sepertinya dimaksudkan sebagai sumber rejeki masyarakat sekitar melalui fasilitas mobil pengantar ke area kawah. Dan juga membuat parkir lebih teratur.




Kami pun memarkir motor di area parkir yang telah disediakan. Di sekitar tempat parkir tersebut terdapat aneka penjual buah, snack, dan beberapa barang seperti topi dan kacamata. Saya sempat mampir sebentar dan senang sekali melihat salah satu buah favorit saya, strawberry tampak merah segar dan besar-besar. Saya pun akhirnya tergoda untuk mencicipinya dengan cokelat.








Akhirnya, setelah puas makan strawberry, kami pun membeli masker karena area kawah penuh dengan gas belerang yang kuat. Efek yang ditimbulkan membuat mata iritasi, saluran pernafasan iritasi, batuk, pusing, mual bahkan muntah. Kami lalu membeli karcis untuk mengendarai kendaraan khusus yang mirip angkot untuk menuju area kawah. Saya beruntung mendapatkan duduk paling depan dan di tepi karena bisa leluasa menikmati pemandangan alam sepanjang perjalanan. Perjalanannya cukup jauh dan tidak bisa membayangkan jika harus berjalan kaki melewati hutan.




Setelah perjalanan yang menyenangkan, kami sampai di area kawah. Gas mulai terasa kuat dan pemandangan mulai tampak indah. Tedapat tanda peringatan yang mengingatkan pengunjung agar jangan lama-lama di area kawah karena gas belerang yang kuat bisa berbahaya. Saya menyayangkan banyak orang tua yang membawa anak balita dan anak kecil kemari. Saya tidak merekomendasikan tempat ini untuk anak-anak apalagi bayi dan balita karena gas belerangnya sangat kuat dan mengganggu.



Saya lalu melewati jalan menuju ke area kawah yang sedikit mengingatkan saya dengan jalan setapak di Uluwatu Bali. Saya lalu sampai di tangga berundak yang sempit dan indah dengan jalan menurun. Di samping tangga kawah mulai terlihat di antara pepohonan. Sungguh pemandangan yang sangat menakjubkan. Saya tidak sabar ingin segera ke sana. Saya pun mempercepat langkah. Saya sempat melewati gua yang tampak sudah ditinggalkan. Sepertinya bekas tambang belerang. Saya mempercepat langkah melewati gua tersebut karena di depan gua hembusan gas belerang terasa amat sangat kuat sampai saya harus menahan nafas dan menutup mata.







Gua menambang belerang

Akhirnya saya sampai di antara pepohonan dan segera melangkah agar mencapai tepi kawah. Sampai di tepi kawah pemandangannya lebih menakjubkan lagi. Air kawah yang hijau dan putih berpadu sangat indah. Beberapa batang meliuk-liuk berwarna gelap menambah artistik pemandangan tersebut. Dinding tebing di samping kawah yang indah membuat saya semakin kagum. Saya pun tidak henti-hentinya mengabadikan pemandangan indah tersebut.





































Akhirnya setelah beberapa lama berlalu saya tidak tahan juga dengan uap belerang yang saya hirup entah berapa banyak. Saya mulai merasakan sakit kepala, mata iritasi, dan mual. Saya pun segera mengajak teman saya kembali dan membebaskan diri dari kurungan gas belerang menyengat ini.

Sampai di atas, saya beristirahat sebentar dan langsung pulang untuk menuju destinasi selanjutnya, yaitu Danau / Situ Patenggang.

Perjalanan menuju Danau Patenggang sangat asri. Banyak pepohonan dan sepanjang jalan banyak saya jumpai tempat outbond dan pemandian air panas. Saya benar-benar tergoda untuk mampir namun saya tidak punya banyak waktu. Selang beberapa lama, saya dikejutkan dengan pemandangan kebun teh yang sensasional. Indah sekali! Suasana yang sejuk, mendung, dan hamparan karpet teh berwarna hijau yang berpola dan berlabirin-labirin, mengingatkan saya akan film horor The Sign. Saya sangat takjub dengan keindahan pemandangan ini. Beberapa orang yang lewat tampak berhenti di spot-spot tertentu untuk menyelami labirin-labirin kebun teh dan berfoto ria. Saya pun tidak ketinggalan....



















Setelah puas dengan kebun teh, kami melanjutkan perjalanan kembali. Setelah beberapa saat, kami mulai mendekati Danau Patenggang. Dari jauh, pemandangan Danau Patenggang tampak spektakuler. Mengingatkan saya lagi dengan Bedugul, meskipun, lagi-lagi tidak sedahsyat Bedugul. Kami pun memotret ria di antara pemandangan indah ini.






Selanjutnya kami pun sampai di Danau Patenggang. Kembali kami disambut pemandangan kebun teh yang indah. Di area tempat wisata Danau patenggang, banyak dijumpai penjual makanan, buah dan barang-barang lainnya. Hawa dingin membuat perut saya lapar, dan itulah kenapa banyak penjual makanan di sini termasuk gorengan. Saya tergoda dengan aroma goregan yang terhampar di sepanjang kanan kiri saya. Akhirnya iman saya pun bobol dan saya membeli beberapa gorengan yang ternyata rasanya lezat. Apa mungkin karena lapar? Entahlah...



Untuk penjual makanannya, saya tidak merekomendasikannya, kecuali anda benar-benar sangat lapar. Hal ini karena aromanya saja yang sedap, untuk urusan rasa dan harga tidak sesuai dengan ekspektasi saya. Saya pun langsung berkeliling-keliling mengitari danau. Pada saat saya mengelilingi danau saya terkejut mendapati seorang penjual yang menjual dan mempromosikan senajata tajam seperti pedang kepada anak-anak sekolah. Saya cukup jengkel dengan pemandangan tersebut.








penjual senjata tajam kepada anak-anak




Di seberang danau terdapat daratan tersendiri dan ada monumen Batu Cinta. Saya pun penasaran dan segera menyewa perahu untuk menyeberang. Menyebrangi danau, kembali mengingatkan saya akan sensasi saat saya mengunjungi Danau Beratan di Bedugul, Bali. Sesampainya di daratan, saya segera menuju Batu cinta, dan memang itu saja tujuan kami. Tidak ada apa-apa di sana selain Batu Cinta ini. Paling-paling kebun teh yang cukup indah. Selanjutnya kami pun kembali menyeberang.































Pulang dari Danau Patenggang, saya tiba-tiba memiliki rencana lain. Saya ingin memetik strawberry sendiri di kebun Strawberry. Sepanjang perjalanan pulang di daerah Ciwedey, kami mencari-cari perkebunan strawberry yang masih buka karena hari sudah mulai senja. Untungnya akhirnya kami menemukan sebuah tempat yang masih buka.

Saya pun bersuka cita dan segera menyambut kebun strawberry yang terhampar. Saya meresapi sensasi memetik buah sendiri. Rasanya sih sama saja sebenarnya, cuma untuk buah favorit saya yang bernama strawberry, inilah pertama kali saya melakukannya. Karena keasyikan memetik buah, saya tidak sadar strawberry saya sudah cukup banyak dalam keranjang. Saya pun segera menghentikannya karena saya pikir saya bisa bangkrut. Tahu sendiri lah berapa harga strawberry di Balikpapan yang selangit. Tapi betapa kagetnya saya karena strawberry tersebut ternyata harganya murah. Wah senang sekali rasanya. Dan rasanya? Segar sekali! Lebih enak daripada strawberry yang dijual di supermarket.





















Akhirnya kami pun pulang dengan kelelahan dan dengan tubuh yang terasa dihajar orang sekampung. Namun, overall perjalan mampir ke Ciwidey ini cukup mengesankan dari pagi hingga senja. Mulai dari bercapek-capek ria hingga merasakan segarnya strawberry.

Malamnya sebagai hiburan, saya menikmati Abuba Steak yang lezat sekali dan berbeda dengan Abuba Steak yang ada di depan Hotel Akmani. Abuba Steak yang di sini dagingnya mantep, sausnya lebih banyak, dan kentangnya lezat sekali. Nyummm!