Sunday 28 December 2014

Sedikit Bocoran Episode Terakhir Naruto

Gara2 gandrung sama Naruto nih, aku langsung lihat episode terakhir komiknya dan berteriak gembira.

Sedikit resume:

Sasuke dan Naruto bertarung habis2an hingga masing-masing dari mereka kehilangan satu tangan.
Sasuke sudah gak jahat lagi.


Hinata ... oh Hinata... tumbuh menjadi wanita yang cantiiiikkk dan tubuh yang menarik...
Sakura? tetep cantik....

Hinata dan anaknya yang kedua, Himawari


Naruto, jadi Hokage ke 7 setelah my fav Kakashi, dan wajahnya diukir di gunung.

Sasuke jadi pengembara dan memerangi kejahatan, kasihan banget nasib Sasuke...


Naruto kok jadi keren ya setelah gede wkwkwkwkwwkk


Dan yang paling mengejutkan....

Muncullah bocah bernama Boruto yang dipanggil Bolt. Siapa dia? Kalau lihat fisiknya, orang akan tahu kalau dia itu siapa, terutama karena nama lengkapnya Boruto Uzumaki! Ya... dia anaknya Naruto!!! dengan siapa??? dengan.... Hinata!!! Horeeeeee!!!!!!!

Jadi, Naruto nih akhirnya punya 2 anak, yang cowok dipanggil Bolt, yang kedua cewek bernama Himawari. Bolt punya rambut dan wajah seperti naruto dan sifat yang konyol dan bandel seperti naruto. Himawari punya rambut, wajah dan mata seperti Hinata. Namun keduanya punya tanda pipi seperti Naruto. Cuma jumlahnya hanya 2.


Lalu, muncullah bocah perempuan seumuran Bolt yang cantikkk banget. Hmmm... Mewarisi rambut dan mata Sasuke... Ya, dia adalah Sarade, anaknya Sasuke dengan....... Sakura!!! Horeeee!!!! Cuma ya itu, Sasuke berkelana ke mana-mana jadi Sakura berdua gitu sama Sarade.

Namun ada satu hal yang tetep ngganjel di hati. Sampai tamat pun, aku belum menemukan wajah asli tokoh favoritku, alias gurunya Naruto, si Kakashi Hatake.... Ughhhh!!! Padahal pengarangnya udah janji mau mengungkap wajahnya, tapi dia kelupaan kayaknya.



Hari Libur = Nonton Naruto sampai lupa ngapa2in

Naruto... Hmmm... kayaknya semua sudah pada nonton kartun dengan judul ini kecuali.... Aku!!!

Ya, di awali dahulu kala, kala aku masih di bangku sekolah, aku sempat melihatnya entah dari TV atau komik ya... aku lupa, dan... aku tidak tertarik. Pertama, karena menceritakan tentang perang-perangan alias action, kedua, tokoh utamanya kok mirip sama kucing  ya?? jadinya malas deh ...

Akhirnya, beberapa tahun kemudian aku menikah dengan misua (lah... kok jadi ke mana-mana ceritanya. Yah... misua ini ternyata adalah pria dengan satu paket hobi yang sering bikin aku emosi (qiqiqiqi... sori ya babe...) yaitu: DOWNLOAD ANIME!

Jadi, biar aku muter2 sebentar ceritanya.... bojoku ini gila pada 3 hal:
1. Sepakbola, di mana gara2 sepakbola, aku dan dia bisa perang dunia dan TV di rumah bisa jadi korban!
2. Games, yang membuatnya autis dan membuatku ingin melempar ponselnya ke dinding!
3. Naruto dan One piece, di mana yang terakhir ini belum tamat2 katanya.

Nah, untuk yang pertama dan kedua terus terang meski dunia gandrung setengah mati, entah kenapa aku tidak merasa tertarik untuk bergabung. Dan untuk yang ketiga, yang bernama Naruto, aku punya sedikit cerita yang relevan dengan judul posting ini. Di mana pada suatu hari, tepatnya beberapa hari yang lalu, suamiku datang dari luar kota dan mengatakan "akhirnya, Naruto tamat! Tapi One piece belum."
Aku pun menjawab "Oya? Memang selama ini belum tamat ya??"
Tiba2 aku melihat tampangnya jadi aneh. Mungkin dia menganggapku mahluk paling autis di dunia untuk dunia per-anime-an.
Lalu aku jadi menghubungkan Naruto yang baru saja tamat setelah sekian lama dengan serial komik kesukaanku yang mulai aku kecil hingga kini belum tamat juga, si "Bidadari Merah-nya Suzue Miuchi" (Aku kadang khawatir kalo keburu meninggal sebelum melihat seri terakhir komiknya Oh... Damn! I Mizz Masumi Hayami & maya Kitajima!).

Akhirnya, karena penasaran, (dan entah kenapa penasarannya baru sekarang) aku mulai meng-copy film dan komiknya sekaligus dari HD misua.
Akhirnya pas tanggal merah Natal kemarin aku pun mulai nonton episode 1. Setelah kutonton satu episode.....Lah... kok ketagihan????
Lalu aku pun langsung nonton episode2 selanjutnya. Terus mucullah tokoh2 macam Sasuke dan Kakashi. Lah... makin semangatlah aku ini nonton.
Lalu ada Hinata yang suka sama Naruto, kisah-kisah mengharukan, terus ada kisahnya Minato dan Kushina. Walah-walah.... jadilah Kamis, jum'at, sabtu, minggu, aku benar-benar nge-dump alias nyampah! Tidak produktif sama sekali! dan aku secara mengherankan jadi addicted seperti abg.

Haduh-haduh.... ini gara2 misua  nih, membuka segel "kecanduan anime" yang telah lama kukunci rapat!

Dan hari ini, di kantor, aku sudah pengen nonton lagi!! Tapi akhirnya aku ingat, PR banyak, ujian menghadang, dan seribu pekerjaan rumah dan kantor sudah tidak sabar menyerbuku. Jadi, buat Naruto... kita tunda dulu sebentar yah... hiks hiks

Tuesday 9 December 2014

Cerpen : The Duel



Akhirnya, latihan selama berbulan-bulan bertemu dengan momennya. Inilah saatnya! Begitulah aku berkata pada diriku sendiri. Aku memang belum begitu ahli dalam memainkan cello, tapi aku telah belajar begitu keras selama berbulan-bulan ini. Untuk apa? Tidak lain untuk satu tujuan! Hanya satu tujuan! Yang aku yakin sebagian besar orang akan mencibirnya. Tidak lain adalah untuk terhubung dengannya! Ya, untuk terhubung dengan wanita ini! Wanita dingin dan kejam yang bukan main sulit untuk didekati. Jenius music yang memiliki dunianya sendiri dalam cello.
Beribu cara telah aku perjuangkan untuk membuatnya menyadari diriku ada, namun sia-sia. Hanya satu jawaban pasti yang bisa aku mengerti. Aku hanya bisa terhubung dengannya melalui benang merah bernama cello!
Akhirnya, setelah dibentak dan dimaki habis-habisan oleh Nurman melalui latihan cello berbulan-bulan, akhirnya, aku berhasil juga bersahabat dengan Minuet in G Major-nya Bach.
Dan sekaranglah momen itu, kala jenius bengis ini masuk studio yang besar, bersudut kelam, dan sepi, lalu dia duduk. Duduk seperti biasa. Menghadap jendela dan memasang wajah datar. Datar saja, hingga aku tidak pernah berhasil membaca alasan kenapa dia begitu gemar memainkan Minuet in G Major. Lalu, sebuah cello tua bersandar di kakinya yang kurus.
Aku pun yang sudah gila hanya duduk terpana di balik tirai-tirai putih yang akan digunakan untuk pertunjukan music tiga hari lagi. Tanganku yang memegang cello gemetar membayangkan rencana yang akan aku jalankan. Akan benar-benar gagal, atau benar-benar berhasil. Segalanya akan kupertaruhkan untuk momen ini.
Wanita ini menunduk dengan tenang dan mulai menggesek Minuet in G Major dalam tempo cepat dan bukan main indah. Satu judul, hanya satu judul. Minuet in G Major. Tapi jenius ini menyampaikannya dalam cara yang berbeda-beda setiap kali dia memainkannya. Dan percaya atau tidak, setiap permainan Minuet in G Majornya-nya tidak pernah gagal mempesonaku. Selalu membuatku menangis di sudut studio tanpa dia tahu.
Akhirnya, saat puncak datang, dan aku membalasnya dengan nada yang sangat berbeda! Ya, aku memainkan Minuet in G Major dengan caraku sendiri. Aku memainkannya dan sesaat lupa ini hanya sebuah misi, misi yang berat. Ini seakan menjadi percakapan kami yang pertama, melalui permainan cello yang indah.
Wanita ini terkejut dan permainan indah kami menjadi sedikit terhambat. Dia berpaling ke arah tirai yang menyembunyikan sosokku di baliknya. Dia mungkin ingin berhenti karena kaget, namun indahnya harmoni yang sudah terlanjur tercipta, sayang untuk dihancurkan, dan membuatnya menahan diri untuk berdiri dan menghampiriku. Dia pun akhirnya tetap duduk dan melayani music yang aku mainkan. Cello kami bersahutan, membentuk harmoni yang luar biasa indah. Seakan tidak perlu biola, kontra bass, atau drum untuk mengirinya. Ini saja sudah cukup. Bukan main!
Aku bermain dan aku lupa aku siapa. Aku bermain untuk menarik hati wanita kejam paling luar biasa yang pernah kutahu, dan aku lupa bahwa aku manusia yang tidak setara untuk menjadi muridnya. Dan anehnya, saat music kami terhubung dengan indah, aku lupa, dan aku yakin dia juga.
Mataku seakan menembus tirai, dan aku tahu, bibirnya tersenyum dan menikmati setiap music yang kami mainkan. Tidak ada ekspresi datar itu lagi. Dan untuk pertama kalinya aku merasa menjadi pemenang.
Sahut-sahutan music kami membentuk surga harmoni yang luar biasa. Kulit merinding, mata basah karena terharu, dan perasaan luar biasa yang tidak biasa diungkapkan dengan kata-kata. Dan, seperti hal indah lainnya, akhirnya music ini berakhir. Aku menutup dengan tempo cepat.
Lalu lengang pun menyusul kemudian. Seolah tidak ada yang mau memulai untuk bergerak atau bersuara. Beberapa detik kemudian, saat kupikir hal paling rikuh akan terjadi, tepukan tangan yang riuh sahut menyahut di belakang kami. Rupanya, para musikus amatir yang berdatangan untuk berlatih menangkap basah duel kami. Saking asyiknya tenggelam dalam nada yang paling indah yang pernah kudengar, kami sampai tidak menyadari jika banyak sekali penonton di belakang kami.
Setelah tepukan tangan yang panjang bergemuruh, dia beranjak dari kursinya dan menyibak tirai yang menghalangi kami. Dia berdiri, dan menatap lurus ke mataku dengan tatapan tajam yang tidak bisa kubaca. Aku mendongak, takut dan takjub. Lalu perlahan, sudut bibirnya tersenyum.
“Well done, Randall!” Dia memuji! 
Tapi yang paling penting, dia tahu namaku! Rasanya bukan main! Dan aku pun balas tersenyum, meski mulut bisuku tidak bisa bicara. Sudah cukup. Setidaknya sekarang, akhirnya dia tahu eksistensiku.

Sunday 16 November 2014

Chiffon Pisang Super Lembut



Moist lembut lezat dan harum

Setelah kegagalan mengutak atik resep chiffon pisang kemarin yang bisa dilihat di sini, saya akhirnya mereview kembali beberapa poin yang kemungkinan merupakan kesalahan saat praktek chiffon pisang yang pertama alias versi gagal.
Setelah memodif bahan-bahan dan melakukan perlakuan dengan hati-hati dan sepenuh hati, akhirnya…. Kue chiffon pisang jadi juga…. Hasilnya… waww… di luar dugaan, lembyuuuut banget, gurihnya nendang dan moist….. hmmmm…. Sukses besar….

Bahan A:
3 butir kuning telur
½ sdt Baking powder double acting
40 gr pisang ambon yang matang banget, lumat dengan garpu
30 ml minyak sayur / goreng
60 gr terigu protein sedang
½ sdt bumbu spikulas
60 ml santan instan

Bahan B:
3 butir putih telur
½ sdt garam halus
90 gr gula palem

Cara:
1. Pastikan peralatan untuk mengocok kering dan bebas minyak, bersih kesat
2. Siapkan cetakan chiffon / tulban, dan alasi dasarnya dengan kertas roti, jangan diolesi dengan minyak / margarin. Masukkan dalam oven agar suhunya tidak dingin sehingga siap menerima kue.
3. Campur semua bahan A
4. Siapkan putih telur dan beri garam
5. Kocok dengan mixer kecepatan tinggi hingga berbusa
6. Masukkan gula palem dalam 3 tahap, sambil dikocok dengan kecepatan tinggi hingga kaku tapi tidak terlalu kaku, ingat seperti jambul rambut. Jika terlalu kaku maka kue bisa retak (seperti pengalaman sebelumnya). Mengocoknya tidak lama, yang penting sudah kokoh. Jika gagang mixer diangkat, maka putih telur tidak akan goyah, atau bentuknya tetap, itu artinya sudah cukup. Selain itu jika kelamaan mengocok maka busa seolah seperti terpisah-pisah dan akan susah mencampur dengan adonan kue sehingga berpotensi membentuk rongga dalam kue.
7. Masukkan kocokan putih telur secara bertahap (biasanya 3 tahap) ke dalam campuran bahan A sambil diaduk dengan metode aduk balik dengan menggunakan spatula. Spatula karet berukuran besar akan mempermudah proses ini. Aduk hingga tercampur dengan baik. Jika tidak tercampur dengan baik maka akan terbentuk rongga dalam kue. Jangan terlalu lama mengaduknya karena kue bisa kempis.
8. Keluarkan Loyang dari oven.
9. Masukkan adonan ke dalam Loyang yang baru dikeluarkan dari adonan.
10. Normalnya, adonan yang baru dimasukkan ke Loyang tidak akan rata permukaannya. Untuk itu goyang-goyang sebentar Loyang untuk meratakan permukaan adonan di dalam Loyang. Jangan lama-lama menggoyangnya.
11. Masukkan ke dalam oven dan jaga agar api tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Jika api terlalu besar maka kue akan retak dan jika terlalu kecil maka kue tidak akan mengembang dengan baik.
12. Oven jangan sering dibuka-buka, apalagi 15 menit pertama atau pas kue lagi seru-serunya mengembang. Jika akan mengecek, lakukan saat kue sudah stabil, biasanya ditandai warna lebih gelap dan tidak terjadi pengembangan adonan. Permukaan kue bisa ditekan pelan, jika terasa seperti busa (kresss) tandanya kue belum matang, tapi jika kue membal saat ditekan / memantul, berarti kue telah matang. Pengecekan bisa juga dilakukan dengan menusukkan lidi, jika tidak ada adonan terikut berarti adonan telah matang.
13. Jika adonan telah matang, segera keluarkan dari oven dan segera balik agar permukaan kue tidak menyusut / keriput. Kue yang dibalik bagian bawahnya harus terkena udara luar / ambience agar tidak berkeringat sehingga basah. Umumnya lubang Loyang disangga dengan botol kaca, atau apabila Loyang dilengkapi dengan kaki, maka bisa langsung diletakkan di meja. Biarkan dingin.
14. Keluarkan dari cetakan dengan cara dikerik bagian tepinya dengan pisau yang tajam dengan hati-hati agar bagian tepi kue tidak tersayat.
15. Siap dieksekusi.
Selamat mencoba. 














Monday 10 November 2014

Serunya Membuka Track Hutan Gunung Sepuluh dengan Tim Ecopedition

Soal pengalaman masuk hutan, hutan beneran lho ya, sudah 3 kali saya lakukan dalam hidup saya, dari hutan Baluran, Meru Betiri, sampai Alas Purwo. Dan semua pengalaman tersebut sangat berkesan dan bikin ketagihan. Jadilah saya salah satu orang yang sangat menyukai apapun soal hutan.

Ngomong soal hutan, di sekitar area kilang, hutan kota masih tampak asri dan merupakan salah satu pemandangan andalan Kota Balikpapan. Salah satu hutan yang dimaksud adalah Hutan Gunung Sepuluh. Selama ini, saya hanya lewat lewat saja kalau melewati area Hutan Gunung Sepuluh yang terbentang di kanan kiri Jalan Minyak. Saya tidak punya bayangan sedikit pun, apa isi dari Hutan Gunung Sepuluh. Hutan yang juga terkenal karena banyak artisnya berupa monyet ekor panjang yang suka nongkrong di pagar kalau sore hari, serta berbagai macam cerita seram hingga mitos adanya rumah di tengah hutan tersebut, cukup menarik perhatian saya. Terutama seputar mitos keberadaan rumah yang konon katanya ada di tengah hutan dan berjumlah sepuluh buah, yang karena itulah nama hutan tersebut menjadi Hutan Gunung Sepuluh. Saya pun bertekad suatu saat nanti, saya harus menjelajah isi hutan tersebut karena saya penasaran ingin membuktikan keberadaan rumah mitos tersebut.

Gayung bersambut, dan kebetulan sekali, jabatan pekerjaan saya sekarang mendapat tambahan "amanah", yaitu mengurus hal-hal yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati. Jadi, saya merasa sangat excited sekali kala bagian PR memiliki program melakukan ecopedition untuk penelitian kekayaan hayati di hutan sekitar kilang, dan bagian saya termasuk yang digandeng oleh PR.

Tim dari Kebun Raya Balikpapan (KRB) pun diturunkan. Sekilas yang saya tahu mereka adalah ahli flora dan fauna, pokoknya yang biologi-biologi gitu lah. Timnya dibagi dua, spesialis flora dan spesialis fauna. Untuk spesialis fauna, kebanyakan operasinya malam hari karena di waktu malamlah para binatang mulai aktif. Saya kebetulan ikut dengan spesialis flora, namun mereka juga nyambi untuk meneliti fauna, hanya fokusnya dititikberatkan pada flora.

Pada hari H, saya sangat bersemangat sambil menyiapkan kamera yang sebenarnya agak repot membawanya. Saya benar-benar tidak tahu tantangan di depan yang akan saya hadapi. Kami pun melakukan briefing dan berkumpul di area kilang selatan. Tim mulai membuka jalan sambil membawa tali, dan saya mengikuti di belakang. Anehnya, meskipun terkenal dengan berbagai mitos cerita seram, saya tidak merasa takut sama sekali, barangkali karena waktunya siang hari dan rame-rame kali ya. Kami pun bersebelas orang. Tujuh orang dari Tim KRB, 1 orang dari PR, saya dan 2 orang dari sekuriti.

Kami membuka track baru, jadi pekerjaannya cukup berat. Banyak hal-hal yang tidak diprediksi. Salah satunya ketika kami mulai masuk, ribuan semut angkrang sudah siap menyambut. Tanpa diduga, mereka masuk ke berbagai bagian baju dan menjelajahi tubuh saya. Saya sempat mengumpat dalam hati kala mereka menggigit bagian-bagian tubuh saya yang memalukan. Tapi saya pura-pura jaim saja dan menahan rasa sakit dan tidak nyaman di sekujur tubuh saya. Saya melihat  anggota tim lainnya tampak cukup tenang meskipun kadang mengeluh digigit semut. Saya membatin, kok saya aja ya yang digigitin semut sampai ke dalam-dalam? Ternyata pas istirahat, mereka juga sebenarnya pada digigitin tapi jaim saja hehehe. Lagian, saya juga salah karena bagian ujung celana coverall saya tidak rapat, jadinya semut bisa bebas menjelajah masuk ke celah-celah yang terbuka. Akhirnya saya memasukkan ujung celana saya ke sepatu boot dan ternyata sangat membantu.

Perjalanan dilanjutkan. Medannya? Tidak ada yang datar. Semua tentang mendaki dan mendaki bukit yang penuh dengan semut, nyamuk, sarang rayap yang segede-gede bola, tumbuhan rotan yang tajam-tajam dan menyiksa kulit, serta berbagai macam rintangan. Pijakannya? Jangan harapkan pijakan yang solid, jadi fisik benar-benar terkuras. Saya memegang berbagai hal yang bisa saya pegang dan saya merasa tangan saya sudah kapalan. Saya mencoba berhati-hati agar tidak memegang akar yang rapuh atau tidak stabil, atau menghindari untuk memegang rotan. Saya menerabas berbagai macam hal dan saya merasa haus luar biasa. Rasanya saya bisa menghabiskan bergalon-galon air saat itu. Saya bersyukur selalu olahraga dan latihan mendaki setiap sore, karena ternyata hal ini sangat membantu. Saya jadi lebih ringan mengangkat tubuh saya saat merayap atau mendaki punggung bukit, dan saya merasa lebih berstamina. 
Jalan masuk yang menjorok
 
















Kami belum menjumpai satu binatang pun, kecuali ngengat, semut, belalang dan rayap, padahal biasanya monyet, tupai, elang banyak sekali. Namun kami sempat melihat banyak sisa-sisa sarang monyet di pepohonan meskipun tidak tampak si empunya. 

Saya bersyukur tidak menjumpai hal-hal yang spooky. Hutan ya hutan, dan tampak benar-benar seperti hutan. Saat kami mencapai separuh perjalanan, kami melihat sisa-sisa puing yang kami curigai adalah bekas puing rumah / bangunan. Selain itu kami juga menemukan bekas perpipaan. Barangkali memang benar dulu ada rumah di sini meskipun tidak banyak bukti yang menguatkan pendapat itu.

Kami pun lalu melanjutkan pendakian dan saya sempat terkejut menemukan buah rotan. Sangat jarang sekali menemukan buah rotan. Buahnya seperti merica namun sedikit lebih besar, namun saat itu buahnya masih berwarna hijau dan belum matang. Kata tim Ecopedition, buah yang sudah matang bisa dimakan. Saya coba mencicipi satu buah, dan rasanya sepat dan pahit. Namun saya bayangkan bahwa rasa buahnya akan mirip dengan buah dari pohon salam yang ada di belakang rumah saya yang kini telah digunduli oleh tukang rumput kemarin.
Buah Rotan
 
 Akhirnya, kami pun menyelesaikan misi dan saya senang sekali mendapati jalan besar tempat saya biasanya lewat. Capek? Pasti, namun puas rasanya. Ternyata membuka hutan itu tidak mudah.