Sebenarnya ini adalah kali kedua
saya mengunjungi kota yang ramah ini. Saya sangat ingin sekali berkeliling
Semarang mengunjungi tempat-tempat yang
menarik bagi saya, yang berarti 3 hal : bisa kulinernya yang mantaf,
pemandangan indah nan menenangkan, atau gejolak adrenalin yang membuat suasana
menegangkan. Namun, hingga kesempatan kedua ini pun, saya sepertinya belum
mampu mengupas secara maksimal potensi Semarang yang ada, meskipun saya tahu,
sebenarnya ada banyak tempat menarik yang tak terlupakan di sini. Seperti
biasa, masalah waktu yang sangat terbatas, lagi-lagi harus membuat saya menahan
diri untuk bereksplor ria menjelajah Kota Semarang.
Akhirnya, dengan memanfaatkan
segala kesempatan yang ada, saya memutuskan untuk menitikberatkan eksplorasi
pada masalah yang menarik perhatian saya, kuliner (as usual) di sekitar Simpang Lima saja.
Tiba di Bandara Ahmad Yani,
Semarang, saya bersama dengan anak saya tercinta yang baru berulang tahun yang
ke-2, Syauqi, beserta pengasuhnya, tetap ceria meski kami merasakan kondisi
badan yang cukup melelahkan dan lapar. Otak saya langsung ostosmastis berfikir
tentang satu makanan yang “menurut saya” jadi salah satu primadona di dekat
hotel tempat saya akan menginap, “PECEL”. Begitu keluar dari arena kedatangan, saya langsung tancap gas untuk memesan
taksi bandara yang kebetulan lokasinya berada langsung di depan pintu keluar.
Taksinya cukup murmer , hanya sebesar Rp.40.000,-, karena tujuan saya tidak
jauh yaitu di Hotel Ciputra – Simpang Lima (apa karena saya terbiasa dengan
tarif Balikpapan? Hehe).
![]() |
Syauqi baru bangun tidur di bandara |
Setelah tiba di hotel dan
membereskan registrasi, kami bertiga segera menuju kamar. Sejenak, hanya
sekitar 10 menit kami meregangkan otot. Selanjutnya, karena mengintip suasana
simpang lima yang tampak meriah dan menyenangkan, kami tidak tahan ingin segera
bergabung. Saat itu, sudah sekitar Pkl.08.00 WIB, dan menurut saya, malam baru
saja mulai.
Tujuan kami yang pertama adalah
pecel di daerah angkringan Simpang Lima, karena
jaraknya cukup dekat, menurut saya sekitar 200 – 300 meteran. Kami
memilih menaiki becak yang banyak stand by di depan hotel untuk menyenangkan
Syauqi. Meskipun, menurut saya akan lebih menyenangkan berjalan-jalan di
sepanjang Simpang Lima. Biaya becak sangat murah, rata-rata Rp.10.000,- (saya
yakin itupun sebenarnya bisa ditawar Rp.5.000,- , namun tegakah anda? J )
Banyak berbagai jenis makanan
disajikan di sepanjang Simpang Lima, namun untuk makanan perdana merujuk pada
keinginan saya yang pertama “PECEL”. Banyak penjual nasi pecel di sini, namun
menurut saya, yang paling popular ada dua, yaitu “Pecel Mbok Sador” dan “Pecel
Yu Sri”. Masalah selera memang tergantung individu masing-masing, karena
masing-masing pecel tersebut punya penggemarnya sendiri-sendiri.
Pecel Mbok Sador vs Pecel Yu Sri (Menurut Saya)
Hal pertama yang saya temui saat tiba di “kediaman” Mbok Sador ini (entah
yang mana mboknya) adalah antrian yang cukup panjang. Kurang lebih sepuluh
orang di depan saya menurut saya adalah antrian yang cukup panjang terutama
karena saya lapar. Belakang saya, masih ada beberapa orang lagi, dan antrian
itu akan terus ada. Tempatnya bersih dan cukup nyaman, namun terancam sulit
mendapatkan tempat jika lagi ramai (berdasarkan pengalaman sebelumnya J ). Alhamdulillah, kami
bertiga dapat tempat. Aku memesan pecel dengan sayuran campur, lauk paru-paru
goreng, sate kerang, dan rempeyek teri. Sedangkan si mbak memesan pecel dengan
sayur campur, telur dadar, tahu bacem, dan rempeyek kacang. Sedangkan Syauqi
memesan perkedel saja. Untuk minumnya kami kompak memesan teh hangat manis.
Menurut saya (dan si mbak),
rasanya pecelnya enak. Buktinya hanya beberapa menit saja, kami sudah
“menggarap” pecel seluruhnya (apa mungkin karena lapar?). Hasil review saya
secara keseluruhan, dari skala 1-10, nilai rasa pecelnya adalah 8,5, keramahannya
7,5, dan suasananya kalau lagi ga penuh banget adalah 7. Cukup bagus untuk
sebuah warung pecel pinggir jalan.
![]() |
Warung Pecel Mbok Sador di Simpang Lima |
![]() |
Nasi pecel Mbok Sador yang Menggiurkan (Lauk : Sate Kerang dan Paru-paru) |
![]() |
Syauqi Menikmati Perkedel |
![]() |
Nasi Pecel yang Habis Hanya Dalam Beberapa Menit :) |
Tekstur dan kesegaran sayur
rebusnya masih terasa. Rasa pahitnya daun papaya yang pas berpadu dengan sayur
lainnya. Seringkali saya menemukan, sayur pecel terasa dimasak terlalu lama
sehingga hilang tekstur dan aromanya.
Untuk sambal kacangnya, cukup
lezat, dengan kepedasan yang pas. Namun bagi penggemar rasa pedas, tingkat
kepedasannya masih sedikit kurang. Rempeyeknya lumayan lezat, cukup renyah dan
rasanya jadi wow saat berpadu dengan sambal kacang. Untuk paru gorengnya,
menurut saya mantap. Juicy, empuk, dan enak. Itulah yang saya pikirkan saat
mengginggit paru.
Sate kerangnya, saya sedikit
kecewa (sedikit aja). Saya mengharapkan tekstur dan aroma kerang yang lebih
nendang, namun saya merasa sedikit kurang puas. Apa mungkin karena kerangnya
kecil-kecil ya? Tapi untuk bumbu sate kerangnya, manis dan gurih, cocok di
lidah saya. Perkedelnya (hasil penculikan dari milik Syauqi) cukup enak, namun
tidak istimewa. Yang jelas, secara keseluruhan, pecel “Mbok Sador” layak
diantrikan .
Lucunya, meskipun kenyang, saya pengen bungkus satu lagi, hihi, namun begitu
melihat deretan antrian, jadi malas.
Pecel Yu Sri, bisa dibilang,
menurut saya sepertinya saingan pecel Mbok Sador. Sekilas ada kemiripan dari
jenis lauk pendamping pecel yang beragam, seperti telur, jeroan, sate kerang,
dll. Bedanya adalah, pecel Yu Sri memiliki tambahan berupa bumbu urap (kelapa
parut yang dibumbui). Begitu saya sampai, antriannya cukup banyak, tapi jujur
masih lebih banyak antrian Mbok Sador. Ekspektasi saya dengan pecel Yu Sri
cukup tinggi terutama setelah merasakan lezatnya tendangan pecel Mbok Sador.
Saya sengaja memilih lauk pendamping yang sama dengan Mbok Sador untuk
membandingkan keduanya dengan lebih subjektif.
![]() |
Pecel Yu Sri |
Terus terang, dari segi lauk pauk
sama saja. Namun, dari segi sambal kacang, menurut saya pecel Mbok Sador lebih
lezat. Bumbu kacangnya, entahlah, saya merasa milik Mbok Sador sangat terasa
bumbunya dan gurih, sedangkan milik Yu Sri rasa bumbunya kurang dan saya merasa
kacang tanahnya sedikit over cooked (menurut saya lho). Overall, saya pribadi
akan memilih ke Mbok Sador untuk next time, namun Pecel Yu Sri, yah lumayanlah.
Lunpia Express
Lumpia Semarang adalah oleh-oleh
yang ketenarannya menyaingi Bandeng Juana. Bahkan, di kantorku, oleh-oleh yang
satu ini lebih dinantikan daripada Bandeng. Hal ini mungkin karena saking
seringnya kami menerima oleh-oleh Bandeng presto dari teman-teman kami yang
berasal dari Semarang. Bahkan sebelum saya ke Semarang pun, teman-teman sudah
mengingatkan saya untuk membawakan oleh-oleh yang terkenal lezat dan “mahal”
ini. Kenapa saya sebut mahal? Karena harga per bijinya paling murah dibanderol
Rp.7000,- (isi rebung saja), Rp.12.000,- (isi original : rebung, telur, ayam),
dan Rp.18.000 (isi original plus kepiting). Now, you know it … Meski demikian, saya
telah memutuskan pilihan pada merk ini, bukan berarti saya under estimate merk
lainnya, namun saya sungguh tidak punya waktu untuk berspekulasi dengan merk
lainnya dan belum pernah saya coba rasanya.
Berada di Jl. Gajah Mada no.142
AA, lokasinya cukup ramai dan strategis. Lunpia express juga menyediakan tempat
untuk makan di tempat yang cukup bersih, meskipun menurut saya tempatnya tidak
terlalu besar. Kelebihan dari Lunpia express adalah pelayanannya cukup ramah
dan cepat, sesuai dengan namanya. Menurut saya hal tersebut masuk akal, karena
berdasarkan pengalaman saya memasak lumpia kulit kering, waktu menggorengnya
sangat cepat yang sangat berbeda dengan lumpia kulit basah. Dari skal 1-10,
untuk aspek rasa, saya beri nilai 7,5, pelayanannya 8, dan lokasinya 7.
![]() |
Lunpia Express yang Renyah dan Garing di Luar Namun Gurih di Dalam |
![]() |
Bagian Dalam yang Gurih dan Rebung Banget |
Kulit lumpianya renyah dan gurih,
berpadu indah dengan isiannya yang khas rebung manis yang berpadu dengan bahan
lainnya. Rasa isiannya manis dan gurih. Akan lebih asyik jika dipadukan dengan
daun bawang segar dan bumbunya. But, watch out your mouth smell hehehe. Kenapa
saya tidak memberi nilai lebih pada lumpia ini? Karena menurut saya, meskipun
lezat, namun tidak membuat saya ingin memakan yang kedua dalam waktu dekat.
Barangkali, hal ini karena ukurannya yang lumayan gede, yaitu sekitar 15 s/d 20
cm. Buat yang tidak suka rebung atau aromanya yang khas, saya tidak
merekomendasikannya, karena bahan ini mendominasi isi lumpia. Namun, secara keseluruhan, lumpia ini sangat
layak sebagai lumpia andalan.
Banyaknya order lunpia express
dari teman-teman saya, membuat saya harus memesan 60 lumpia. Jumlah yang cukup
banyak dengan resiko lumpia akan basi jika saya salah menyimpannya. Untungnya,
Lumpia Express memiliki fasilitas delivery order. Bahkan lumpia bisa diantar di
hotel saya jam 5 pagi, jadi lumpia masih cukup bertahan di perjalanan. Karena
untuk lumpia mentah hanya bertahan 2 jam di luar tanpa kulkas dan 8 jam dalam
kulkas, dan lumpia yang digoreng bertahan kurang lebih 3 hari.
Tahu Bakso
Ini dia favorit saya dan orang
rumah. Rasanya gurih dan mantep! Saya jadikan sebagai oleh-oleh yang saya “eman-eman”
di kulkas. Pengalaman pertama memakan tahu bakso adalah saat saya mendapatkan
oleh-oleh tahu bakso dari teman saya beberapa bulan lalu. Rasanya sangat gurih
dan bikin ketagihan. Kekenyalan baksonya pas berpadu dengan tahu yang juga
gurih. Namun, sayangnya saya lupa menanyakan merk dan lokasi pembeliannya di
Semarang. Alih-alih saya menjelajah Semarang hanya untuk tahu bakso, saya
membeli tahu bakso di samping istana Oleh-oleh dekat simpang Lima. Rasanya tidak
kalah lezat dan mantap. Saya memborong cukup banyak, sebanyak 10 bungkus,
dengan harga per bungkus Rp.25.000,- isi 10 buah.
Wingko Babat, Bandeng Juana dan Mochi Pandanaran
Semarang menurut saya, identic dengan
Bandeng. Dan bandeng Semarang yang paling banyak dibicarakan orang-orang yang
saya kenal adalah Bandeng Juana. Sebenarnya saya sudah merasakan Bandeng Juana
ini sesering saya merasakan Wingko Babat Semarang (Merk Dyna) setiap 3 bulan
sekali. Kenapa setiap 3 bulan sekali? Karena vendor dari Semarang, selalu
membawakan oleh-oleh Bandeng Juana dan Wingko Babat.
Kebetulan saat saya di Semarang
beberapa saat yang lalu, saya menginap di daerah Simpang Lima. Seperti yang
saya bilang sebelumnya, saya sedang tidak ingin repot menelusuri Semarang
(meskipun saya sangat ingin sekali) karena masalah waktu (dan biaya :P). Jadilah,
saya mengambil yang praktis-praktis saja, yaitu menelusuri Jalan Pandanaran
yang tidak jauh dari Simpang Lima. Sepanjang jalan, saya temui berbagai macam
orang menjual bandeng, wingko, lumpia dan mocha serta oleh-oleh lainnya. Namun,
saya tetap memasuki Juana yang memang saya tahu paling terkenal.
Rasa bandenganya cukup lezat,
namun tidak memberikan kesan yang akan selalu saya favoritkan jika menyangkut
menu Semarang. Mungkin karena saya bukan penggemar bandeng tulen. Untuk wingko
babatnya, tersedia aneka rasa, mulai rasa durian, cokelat, kelapa, nangka,
hingga aren. Favorit saya adalah nangka, cokelat dan kelapa. Sebenarnya rasa
wingkonya cukup lezat, hanya saja menurut saya, teksturnya masih kurang moist
dan gurih. Mungkin karena mempertimbangkan keawetan produknya. Untuk kue
mochinya, saya suka. Cukup lezat, terutama yang isi kacang dengan tabur wijen.
Namun, akan membosankan jika kita makan terlalu banyak hehehe. Overall,
oleh-oleh dari Toko Juana cukup lumayan sebagai buah tangan yang khas.
Sekilas Wisata di Kuil Sam Pho Kong
Sebenarnya saya kurang begitu
tertarik mengunjungi tempat-tempat seperti museum, bangunan kuno, dll, kecuali
ada efek adrenalin di baliknya seperti Lawang Sewu, dsb. Namun karena
mempertimbangkan kesenangan Syauqi, saya berfikir tidak ada salahnya mencoba
mengunjungi Kuil yang cukup terkenal di Semarang ini.
Berdasarkan pengalaman saya,
mengunjungi kuil Sam Pho Kong pada saat siang hari yang terik adalah kesalahan
kecuali anda ingin mendapatkan warna tan yang indah pada kulit anda J. Itulah yang saya
alami ketika saya memutuskan untuk keluar hotel siang hari benar di saat
matahari sedang rukun-rukunnya dengan bumi. Dan kesalahan kedua adalah, saya
tidak membawa payung. Hal itu ternyata cukup menyiksa, terutama karena saya
pergi bersama anak kecil hanya dengan pengasuh. Jadilah pipi Syauqi
kemerah-merahan, membuat saya merasa bersalah…
Anyway, yang penting adalah, kami
tetap bisa menikmati kuil yang indah ini. Tiket masuk cukup murah, yaitu hanya
Rp.3000,- per orang (tidak termasuk bayi / balita). Untuk tiket masuk tersebut,
kami hanya bisa menikmati bangunan luar dan patung orang China yang besar
(tidak tahu siapa). Bangunan luar tersebut hanya seperti aula dan cukup panas
di siang hari. Saya berfikir pantas saja harga tiketnya murah, karena saya
tidak menemukan sesuatu yang lebih menarik dari ekspektasi saya di awal. Saya berpikir,
untuk menjelajah bangunan bagian dalam yang tampak eksklusif dan lebih indah.
Untuk bangunan kuil bagian dalam,
tiap orang ditarik tiket masuk lagi sebesar Rp.20.000,- tiap orang dan bakal
ditanyain apa tujuannya masuk ke dalam. Saya menjawab hanya sekedar melihat
lihat dan memotret saja. Selanjutnya penjaga mengijinkan kami.
Di bagian dalam, ada 3 kuil utama,
yang lebih menarik daripada bangunan luar. Namun, suasananya cukup sepi, apa
mungkin karena kami berkunjung saat jam sekolah? Bau dupa menyeruak dan entah
mengapa, saya merasa cukup mistis di area tersebut. Mungkin karena saya tidak
terbiasa dengan aroma seperti itu. Kami juga merasa kurang nyaman, karena
ternyata kuil-kuil tersebut dijaga dan penjaganya seperti memperhatikan kami. Apa
karena kami satu-satunya pengunjung yang tidak bertujuan untuk ibadah pada hari
itu? Yang jelas, saya merasa kurang puas. Namun, kunjungan kami tetap tidak
sia-sia karena Syauqi cukup menikmati.
![]() |
Kuil Luar untuk Wisata Umum |
![]() |
Syauqi dan Pengasuh Berteduh di Area Wisata Umum |
![]() |
Area Kuil Peribadatan |
Sekilas Pengalamanku Berwisata di Lawang Sewu
Inilah sebenarnya wisata yang
paling membuat saya bersemangat ke Semarang. Hal tersebut bukan karena saya
penikmat bangunan tua, namun lebih karena saya penikmat hal-hal yang sedikit
aneh. Saya sadar sebenarnya kurang etis mengindentikkan Lawang Sewu dengan hal
gaib, terlebih karena bangunan bersejarah tersebut sangat indah. Namun apa
boleh buat, saya termasuk orang yang terpengaruh dan penasaran akan tayangan
Dunia Lain yang pernah menyajikan episode Lawang Sewu yang “tak terlupakan”
itu.
Sebenarnya kunjungan saya di
Lawang Sewu dilakukan saat kunjungan pertama saya ke Semarang kurang lebih 8
bulan yang lalu bersama suami saya, anak saya dan pengasuh. Tentunya saat itu,
saat tidak membawa serta anak saya dan pengasuhnya. Sebenarnya, saya sangat
ingin sekali melakukan kunjungan di malam hari, namun lagi-lagi waktu yang
mendesak membuat itu tidak mungkin.
Akhirnya, saat siang bolong, saya
dan suami saya mengunjungi bangunan kuno yang indah tersebut. Kesan seram
terpudarkan oleh keindahan bangunan saat saya pertama kali menginjakkan kaki. Saya
dan suami melakukan beberapa sesi pemotretan sebagai langkah awal untuk
mendokumentasikan seluruh kegiatan kami. Kami membayar tiket masuk dan guide, Cuma
saya lupa (karena 8 bulan yang lalu), kalau tidak salah sekitar Rp.10.000,- per
orang. Kami diantar melintasi bangunan hingga lantai paling atas. Selama perjalanan,
sang guide menceritakan sejarah dari Lawang Sewu sembari menyisipkan cerita horror
pada setiap ruangan. Kesan saya saat melintasi ruangan-ruangan tersebut tidak
terlalu seram, barangkali karena saat ini semakin banyak orang yang datang
pasca acara Dunia Lain. Namun, saya akui, memang ada beberapa ruangan yang
terasa berhawa berat, meskipun saya pribadi bukan cenayang atau orang yang sensitive
dengan hal tersebut. Suami saya, ternyata juga merasakan hal yang sama ketika
di ruang dansa / aula dan di loteng. Sayangnya, kami tidak bisa menjelajah
seluruh ruangan, karena sebagian sisi dari bangunan tersebut sedang diperbaiki.
Setelah melakukan kunjungan di
beberapa ruangan, kami memutuskan untuk menjelajah dunia bawah tanah yang
terkenal itu. Kami harus membayar tiket lagi untuk biaya perlengkapan seperti
sepatu boot dan senter, serta guide. Jujur, kaki saya tidak tega memakai sepatu
boot karena pastinya telah ada banyak kaki yang pernah menjejaki sepatu
tersebut. Namun, demi kenyamanan dan keamanan selama di bawah tanah, akhirnya
saya menguatkan niat memasukkan kaki saya ke dalam sepatu boot yang agak basah.
Kami pun memasuki ruangan yang jalan masuknya cukup sempit dan bertang-tangga
ke bawah. Karena sugesti, saya merasa merinding. Kami mulai memasuki ruangan
demi ruangan dan memotret sebanyak mungkin dengan harapan menangkap “sesuatu”
yang aneh. Guide mulai menjelaskan tempat-tempat yang kami kunjungi, seperti
penjara berdiri, penjara jongkok, dsb. Bukannya rasa takut yang mendominasi,
namun malah rasa iba yang ada di hati saya. Membayangkan pengap, basah, dan
tersiksanya tawanan pada jaman dulu di ruang bawah tanah ini. Akhirnya tur
berakhir dan saya sukses tidak mendapatkan sesuatu yang memicu adrenalin saya. Barangkali,
karena saya melakukan tur itu di siang hari. Saya dan suami akhirnya memutuskan
untuk pulang walaupun hati saya sedikit kecewa.
Sesampainya di hotel, saya dan
suami langsung menuju laptop untuk mengamati hasil jepretan kamera kami. Kami sukses
tidak menemukan apapun. Namun, satu hal yang pasti, bahwa saya sudah tidak
penasaran lagi dengan bangunan kuno nan indah tersebut.