Monday 10 November 2014

Serunya Membuka Track Hutan Gunung Sepuluh dengan Tim Ecopedition

Soal pengalaman masuk hutan, hutan beneran lho ya, sudah 3 kali saya lakukan dalam hidup saya, dari hutan Baluran, Meru Betiri, sampai Alas Purwo. Dan semua pengalaman tersebut sangat berkesan dan bikin ketagihan. Jadilah saya salah satu orang yang sangat menyukai apapun soal hutan.

Ngomong soal hutan, di sekitar area kilang, hutan kota masih tampak asri dan merupakan salah satu pemandangan andalan Kota Balikpapan. Salah satu hutan yang dimaksud adalah Hutan Gunung Sepuluh. Selama ini, saya hanya lewat lewat saja kalau melewati area Hutan Gunung Sepuluh yang terbentang di kanan kiri Jalan Minyak. Saya tidak punya bayangan sedikit pun, apa isi dari Hutan Gunung Sepuluh. Hutan yang juga terkenal karena banyak artisnya berupa monyet ekor panjang yang suka nongkrong di pagar kalau sore hari, serta berbagai macam cerita seram hingga mitos adanya rumah di tengah hutan tersebut, cukup menarik perhatian saya. Terutama seputar mitos keberadaan rumah yang konon katanya ada di tengah hutan dan berjumlah sepuluh buah, yang karena itulah nama hutan tersebut menjadi Hutan Gunung Sepuluh. Saya pun bertekad suatu saat nanti, saya harus menjelajah isi hutan tersebut karena saya penasaran ingin membuktikan keberadaan rumah mitos tersebut.

Gayung bersambut, dan kebetulan sekali, jabatan pekerjaan saya sekarang mendapat tambahan "amanah", yaitu mengurus hal-hal yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati. Jadi, saya merasa sangat excited sekali kala bagian PR memiliki program melakukan ecopedition untuk penelitian kekayaan hayati di hutan sekitar kilang, dan bagian saya termasuk yang digandeng oleh PR.

Tim dari Kebun Raya Balikpapan (KRB) pun diturunkan. Sekilas yang saya tahu mereka adalah ahli flora dan fauna, pokoknya yang biologi-biologi gitu lah. Timnya dibagi dua, spesialis flora dan spesialis fauna. Untuk spesialis fauna, kebanyakan operasinya malam hari karena di waktu malamlah para binatang mulai aktif. Saya kebetulan ikut dengan spesialis flora, namun mereka juga nyambi untuk meneliti fauna, hanya fokusnya dititikberatkan pada flora.

Pada hari H, saya sangat bersemangat sambil menyiapkan kamera yang sebenarnya agak repot membawanya. Saya benar-benar tidak tahu tantangan di depan yang akan saya hadapi. Kami pun melakukan briefing dan berkumpul di area kilang selatan. Tim mulai membuka jalan sambil membawa tali, dan saya mengikuti di belakang. Anehnya, meskipun terkenal dengan berbagai mitos cerita seram, saya tidak merasa takut sama sekali, barangkali karena waktunya siang hari dan rame-rame kali ya. Kami pun bersebelas orang. Tujuh orang dari Tim KRB, 1 orang dari PR, saya dan 2 orang dari sekuriti.

Kami membuka track baru, jadi pekerjaannya cukup berat. Banyak hal-hal yang tidak diprediksi. Salah satunya ketika kami mulai masuk, ribuan semut angkrang sudah siap menyambut. Tanpa diduga, mereka masuk ke berbagai bagian baju dan menjelajahi tubuh saya. Saya sempat mengumpat dalam hati kala mereka menggigit bagian-bagian tubuh saya yang memalukan. Tapi saya pura-pura jaim saja dan menahan rasa sakit dan tidak nyaman di sekujur tubuh saya. Saya melihat  anggota tim lainnya tampak cukup tenang meskipun kadang mengeluh digigit semut. Saya membatin, kok saya aja ya yang digigitin semut sampai ke dalam-dalam? Ternyata pas istirahat, mereka juga sebenarnya pada digigitin tapi jaim saja hehehe. Lagian, saya juga salah karena bagian ujung celana coverall saya tidak rapat, jadinya semut bisa bebas menjelajah masuk ke celah-celah yang terbuka. Akhirnya saya memasukkan ujung celana saya ke sepatu boot dan ternyata sangat membantu.

Perjalanan dilanjutkan. Medannya? Tidak ada yang datar. Semua tentang mendaki dan mendaki bukit yang penuh dengan semut, nyamuk, sarang rayap yang segede-gede bola, tumbuhan rotan yang tajam-tajam dan menyiksa kulit, serta berbagai macam rintangan. Pijakannya? Jangan harapkan pijakan yang solid, jadi fisik benar-benar terkuras. Saya memegang berbagai hal yang bisa saya pegang dan saya merasa tangan saya sudah kapalan. Saya mencoba berhati-hati agar tidak memegang akar yang rapuh atau tidak stabil, atau menghindari untuk memegang rotan. Saya menerabas berbagai macam hal dan saya merasa haus luar biasa. Rasanya saya bisa menghabiskan bergalon-galon air saat itu. Saya bersyukur selalu olahraga dan latihan mendaki setiap sore, karena ternyata hal ini sangat membantu. Saya jadi lebih ringan mengangkat tubuh saya saat merayap atau mendaki punggung bukit, dan saya merasa lebih berstamina. 
Jalan masuk yang menjorok
 
















Kami belum menjumpai satu binatang pun, kecuali ngengat, semut, belalang dan rayap, padahal biasanya monyet, tupai, elang banyak sekali. Namun kami sempat melihat banyak sisa-sisa sarang monyet di pepohonan meskipun tidak tampak si empunya. 

Saya bersyukur tidak menjumpai hal-hal yang spooky. Hutan ya hutan, dan tampak benar-benar seperti hutan. Saat kami mencapai separuh perjalanan, kami melihat sisa-sisa puing yang kami curigai adalah bekas puing rumah / bangunan. Selain itu kami juga menemukan bekas perpipaan. Barangkali memang benar dulu ada rumah di sini meskipun tidak banyak bukti yang menguatkan pendapat itu.

Kami pun lalu melanjutkan pendakian dan saya sempat terkejut menemukan buah rotan. Sangat jarang sekali menemukan buah rotan. Buahnya seperti merica namun sedikit lebih besar, namun saat itu buahnya masih berwarna hijau dan belum matang. Kata tim Ecopedition, buah yang sudah matang bisa dimakan. Saya coba mencicipi satu buah, dan rasanya sepat dan pahit. Namun saya bayangkan bahwa rasa buahnya akan mirip dengan buah dari pohon salam yang ada di belakang rumah saya yang kini telah digunduli oleh tukang rumput kemarin.
Buah Rotan
 
 Akhirnya, kami pun menyelesaikan misi dan saya senang sekali mendapati jalan besar tempat saya biasanya lewat. Capek? Pasti, namun puas rasanya. Ternyata membuka hutan itu tidak mudah.