Koper-koper
Farid tampak sudah siap untuk dibawa pergi. Aku mengangkat tangan kepada Yanto,
anakku, sebagai isyarat agar dia memberi sedikit waktu. Yanto pun mengangguk
dan duduk di kursi tamu untuk menunggu.
Farid
tampak akan memasuki kamar Sri, adikku. Aku melihatnya dengan heran, apa yang
sebenarnya dia rasakan saat ini? Tidak ada air mata yang menetes dari pipi keponakan
semata wayangku itu sejak dia menginjakkan kaki di rumah ini dua hari yang
lalu. Apa dia memang benar-benar tidak merasakan kesedihan seperti
kelihatannya?
“Bude,”
suara Farid mengagetkan aku, “jadi benda itu ada di lemari kamar?”
Aku
mengangguk pelan padanya, “Iya Rid, ibumu bilang begitu padaku menjelang
kematiannya.” Lalu aku mendekati Farid sembari mengusap halus rambutnya, “Le, kalau kamu ga kuat buat masuk kamar
ibumu, biar bude saja yang ngambilin ya?”
Farid
menggeleng tenang, “Ga apa-apa bude.”
Kami
berdua masuk ke ruangan kecil itu. Aroma kayu yang khas semakin mengingatkan
aku pada Sri. Kulihat, Farid sempat menatap sebentar tempat tidur tua bekas
ibunya. Tangannya lalu membuka lemari tua yang pegangannya sudah rusak.
Tampak
sedikit barang dan pakaian di dalamnya yang tertata rapi. Bau karbol samar
tercium. Mataku tertumbuk pada selendang tua berwarna merah yang sudah pudar.
Tanganku gemetar mengambilnya. Farid heran mellihat tingkahku.
“Le, kamu ingat ini ndak?” aku menatap
selendang tua itu, “Ini selalu dipakai ibumu untuk menggendongmu ke mana pun dia
pergi.” Tak terasa air mataku mengambang.
Wajah
Farid masih tampak dingin. Dia mulai menyibak tumpukan baju tua untuk mencari
benda itu. Aku yang tenggelam dalam memori bertahun-tahun silam bersama Sri,
tetap melanjutkan ceritaku.
“lihat
ini le, ada sobekan kecil di
selendang ini,” Farid tidak bergeming, tanganku mengusap sobekan kecil itu,
“meskipun dulu kalian miskin, tapi waktu bayi, badanmu gede Rid. Ibumu yang
perawakannya kecil kok ya kuat menggendongmu ke sana ke mari sambil berjualan,
makanya selendangnya sampai sobek” Mulutku sedikit tersenyum padanya.
“Bude
ingat, dulu dia tidak akan membiarkan kamu kepanasan sedikit pun meski harus
berjualan keliling ke sana ke mari.” Mataku kembali menatap isi lemari lagi.
“Ah,
ketemu bude! Ini kayaknya album foto yang ibu maksud.” Farid tampak memegang
sebuah album tua besar berwarna cokelat.
“Benar
le, ini album foto yang diwasiatkan
ibumu untuk kamu bawa. Dia tampaknya ingin kamu membawanya kemanapun kamu pergi.”
Aku
mengambil album tua itu dari tangan Farid. Kubuka lembar demi lembar dan
tanganku berhenti di sebuah halaman. Tampak foto hitam putih Farid kecil yang
tersenyum bangga memakai baju baru saat itu.
“Le, bude ingat baju baru yang kamu pakai
ini. Ibumu setengah mati membelikannya buatmu.” Farid tetap dingin, “aku ingat,
waktu itu kamu menangis saat lebaran karena di antara teman-temanmu kamu saja
yang tidak memakai baju baru saat itu. Kamu menangis kepada ibumu minta
dibelikan baju baru hehehe.”
Farid
memandangku, tiba-tiba dia membuka suara “Apa bude juga ingat, waktu itu ibu
benar-benar tidak peduli. Ditinggalkannya aku merengek-rengek tak karuan sampai
malam. Aku rasa, itu salah satu lebaranku yang terburuk.”
“Ibumu
memang agak keras padamu le, tapi dia
sangat sayang kepadamu.”
Farid
kembali menyambung ceritanya, “Akhirnya memang tahun depannya ibu membelikan
aku baju baru, membuktikan sebenarnya ibu bisa juga membelikanku baju baru.
Entah kenapa dia tidak pernah melakukan itu sebelumnya.”
“Kamu
ga tahu le, bajumu itu dibeli ibumu
setelah dia menjual sepeda tuanya.”
Farid
tampak heran, alisnya berkerut. Mataku menerawang menjauh, “Apa kamu ingat
setelah itu kalau ibumu selalu berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk berjualan
karena tidak punya sepeda lagi? Dia memang dingin dan tidak banyak bicara, tapi
di belakangmu, bude tahu, dia kerap menangis saat menyadari dia tidak bisa
memberikanmu yang terbaik.”
Aku
kembali membuka album tua itu. Kulihat foto Farid saat masih SD, aku tidak
ingat kelas berapa saat itu. “Ini fotomu saat sekolah dulu le. Lihat ini le, kamu
masih ingat sepatu karet yang kamu pakai ini?” tanganku menunjuk foto sepatu
yang dipakai Farid saat itu, “Sekarang sudah ga ada lagi ya sepatu kayak gini.”
“Iya
bude…., aku menghilangkannya di sungai bersama teman-temanku. Aku ingat ….,”
Farid tampak menghela nafas sejenak, “….setelah itu ibu memukuliku dengan
rotan. Sakit sekali….”
“Kamu
tahu to le, setelah itu ibumu terlambat
berjualan karena mencarikan kamu sepatu bekas di pasar.”
“Entahlah
bude, ibu tidak pernah menjelaskan apa-apa padaku. Yang aku ingat, dia memang
membawa sepatu bekas yang kebesaran. Dia bilang kalau aku menghilangkannya
lagi, aku tidak akan memakai sepatu sampai lulus SD. Ibu memang sosok yang
keras….”
“Semata-mata
demi kebaikanmu le.” Aku segera
menimpali, “Kehidupan sangat keras saat itu, terutama bagi ibumu.”
Farid
akhirnya duduk di dipan tempat tidur tua itu. Dia mulai memperhatikanku
sepenuhnya.
“Kalau
memang ibu sebenarnya sayang sekali padaku, kenapa dia keras sekali padaku dan kerap
menyuruhku pergi saat aku lulus SMP?”
“Karena
dia ingin kamu menjadi orang sukses. Kalau kamu bertahan di kampung ini, kamu
tidak akan menjadi siapa-siapa. Bude ingat, betapa bahagianya dia begitu melihat
nilai-nilaimu saat kelulusan SMP. Ibumu bertekad saat itu agar kamu bisa
mendapatkan beasiswa di SMU terbaik di kota. Itulah kenapa dia kerap
mendorongmu untuk keluar dari sini. Tidak lain supaya kamu mendapatkan
pendidikan yang terbaik sekaligus belajar untuk mandiri.”
Farid
tampak termenung. Aku pun melanjutkan, “Begitu berpisah denganmu sejak lulus
SMP, ibumu benar-benar kehilangan senyumnya le.
Uang hasil kerjanya dikumpulkan hanya untuk menabung supaya bisa mengunjungi
asramamu sebulan sekali. Dia jadi sering sakit-sakitan, kangen sama kamu. Apalagi
sejak itu, kamu hampir tidak pernah pulang. Ibumu bahkan mau pingsan saat
mendengar kamu mendapatkan beasiswa melanjutkan kuliah. Barangkali waktu itu
perasaan sedih dan bahagia bercampur jadi satu di hatinya.”
Tanganku
kembali membuka lembaran foto, kali ini letaknya agak di belakang.
Tampak
foto Farid memakai seragam wisuda. Versi besar foto itu sudah terpampang di
ruang tamu rumah ini.
“Foto
ini adalah satu-satunya foto yang kamu kirimkan saat kuliah. Ini adalah foto
pelipur lara ibumu yang merindukanmu
setiap hari.” Tanganku lalu membuka
lembar terakhir album tua itu, “Le, ini adalah foto berikutnya sekaligus foto
terakhir yang kamu kirim ke ibumu.”
Tampak
foto Farid dengan kemeja rapi di depan tulisan sebuah perusahaan bergengsi.
Suaraku
melanjutkan dan mulai berat, “Satu-satunya yang diinginkan ibumu sebelum
kematiannya adalah melihatmu datang dalam keadaan sehat. Tapi nyatanya, hingga
hari kematiannya, yang dilihatnya justru hanya fotomu di album ini.”
Hatiku
yang semakin berat tiba-tiba teringat sebuah kardus di bawah tempat tidur tua.
Aku mengambilnya. Kubongkar kardus yang tidak begitu besar itu. Tampak
barang-barang lama milik Farid seperti sepatu sekolah, tas sekolah, dan beberapa
pernik-pernik yang tidak terlalu banyak.
“Ini
le, ibumu menyimpannya, berharap
masih bisa mencium aroma tubuhmu di sini.”
Kali
ini, untuk pertama kalinya, akhirnya matanya merah. Diletakkannya album tua itu
dan dipeluknya aku dengan erat dan kudengar tangisnya lirih. Ditumpahkannya
semua beban di hatinya. Barangkali, itu adalah kesalahpahaman dirinya tentang
ibunya selama ini.
Dengan
terbata-bata dia bicara dalam tangisnya sambil tetap memelukku, “Bude…. Aku
kira …ibu tidak mencintaiku sebesar itu…aku kira… karena aku anak haram dia
membenciku….”
“Ya
Allah…ora to le…. Mana ada ibu yang
seperti itu sama anaknya, apalagi ibumu….!” Dadaku sesak, “Kalau memang ibumu
membencimu, dia tidak akan mati-matian bertahan untuk memilih melahirkanmu daripada
menggugurkanmu. Dia bahkan rela dikucilkan dari keluarga hingga sekarang dan
menjalani hidup sengsara. Semua demi kamu le….
dia sadar, kamu dan dia harus kuat supaya tetap bertahan le, makanya ibumu keras padamu …. Dia bahkan lebih memilih kamu
membencinya ….” Aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku karena sesak oleh
kesedihan. Kurasakan, pelukan Farid semakin erat dan tangisannya semakin pecah.
Tiba-tiba,
suara Yanto, anakku, mengagetkan kami, “Mas Farid, maaf mengganggu, tapi ini
sudah jam sepuluh mas, kita bisa telat ke bandara.”
Farid
akhirnya tersadar dan melepaskan pelukannya padaku. Ditahannya tangis sekuat
tenaga. Matanya menerawang sekali lagi ke seluruh penjuru ruangan itu. Tak lupa
dibawanya kembali album cokelat tua yang menjadi saksi bisu kerinduan ibunya
selama ini.
Farid
lalu mencium tanganku, dan mengucapkan terimakasih. Hatiku yang remuk redam
sebenarnya tidak sanggup menjawabnya, namun kukuatkan tenaga untuk menyahut
pamitnya yang penuh kesedihan. Farid, si anak hilang, jangan lupa kembali nak,
begitu batinku sambil menatap mobilnya menjauh pergi.