Thursday 1 May 2014

ALBUM COKELAT IBU

 



Koper-koper Farid tampak sudah siap untuk dibawa pergi. Aku mengangkat tangan kepada Yanto, anakku, sebagai isyarat agar dia memberi sedikit waktu. Yanto pun mengangguk dan duduk di kursi tamu untuk menunggu.
Farid tampak akan memasuki kamar Sri, adikku. Aku melihatnya dengan heran, apa yang sebenarnya dia rasakan saat ini? Tidak ada air mata yang menetes dari pipi keponakan semata wayangku itu sejak dia menginjakkan kaki di rumah ini dua hari yang lalu. Apa dia memang benar-benar tidak merasakan kesedihan seperti kelihatannya?
“Bude,” suara Farid mengagetkan aku, “jadi benda itu ada di lemari kamar?”
Aku mengangguk pelan padanya, “Iya Rid, ibumu bilang begitu padaku menjelang kematiannya.” Lalu aku mendekati Farid sembari mengusap halus rambutnya, “Le, kalau kamu ga kuat buat masuk kamar ibumu, biar bude saja yang ngambilin ya?”
Farid menggeleng tenang, “Ga apa-apa bude.”
Kami berdua masuk ke ruangan kecil itu. Aroma kayu yang khas semakin mengingatkan aku pada Sri. Kulihat, Farid sempat menatap sebentar tempat tidur tua bekas ibunya. Tangannya lalu membuka lemari tua yang pegangannya sudah rusak.
Tampak sedikit barang dan pakaian di dalamnya yang tertata rapi. Bau karbol samar tercium. Mataku tertumbuk pada selendang tua berwarna merah yang sudah pudar. Tanganku gemetar mengambilnya. Farid heran mellihat tingkahku.
Le, kamu ingat ini ndak?” aku menatap selendang tua itu, “Ini selalu dipakai ibumu untuk menggendongmu ke mana pun dia pergi.” Tak terasa air mataku mengambang.
Wajah Farid masih tampak dingin. Dia mulai menyibak tumpukan baju tua untuk mencari benda itu. Aku yang tenggelam dalam memori bertahun-tahun silam bersama Sri, tetap melanjutkan ceritaku.
“lihat ini le, ada sobekan kecil di selendang ini,” Farid tidak bergeming, tanganku mengusap sobekan kecil itu, “meskipun dulu kalian miskin, tapi waktu bayi, badanmu gede Rid. Ibumu yang perawakannya kecil kok ya kuat menggendongmu ke sana ke mari sambil berjualan, makanya selendangnya sampai sobek” Mulutku sedikit tersenyum padanya.
“Bude ingat, dulu dia tidak akan membiarkan kamu kepanasan sedikit pun meski harus berjualan keliling ke sana ke mari.” Mataku kembali menatap isi lemari lagi.
“Ah, ketemu bude! Ini kayaknya album foto yang ibu maksud.” Farid tampak memegang sebuah album tua besar berwarna cokelat.
“Benar le, ini album foto yang diwasiatkan ibumu untuk kamu bawa. Dia tampaknya ingin kamu membawanya kemanapun kamu pergi.”
Aku mengambil album tua itu dari tangan Farid. Kubuka lembar demi lembar dan tanganku berhenti di sebuah halaman. Tampak foto hitam putih Farid kecil yang tersenyum bangga memakai baju baru saat itu.
Le, bude ingat baju baru yang kamu pakai ini. Ibumu setengah mati membelikannya buatmu.” Farid tetap dingin, “aku ingat, waktu itu kamu menangis saat lebaran karena di antara teman-temanmu kamu saja yang tidak memakai baju baru saat itu. Kamu menangis kepada ibumu minta dibelikan baju baru hehehe.”
Farid memandangku, tiba-tiba dia membuka suara “Apa bude juga ingat, waktu itu ibu benar-benar tidak peduli. Ditinggalkannya aku merengek-rengek tak karuan sampai malam. Aku rasa, itu salah satu lebaranku yang terburuk.”
“Ibumu memang agak keras padamu le, tapi dia sangat sayang kepadamu.”
Farid kembali menyambung ceritanya, “Akhirnya memang tahun depannya ibu membelikan aku baju baru, membuktikan sebenarnya ibu bisa juga membelikanku baju baru. Entah kenapa dia tidak pernah melakukan itu sebelumnya.”
“Kamu ga tahu le, bajumu itu dibeli ibumu setelah dia menjual sepeda tuanya.”
Farid tampak heran, alisnya berkerut. Mataku menerawang menjauh, “Apa kamu ingat setelah itu kalau ibumu selalu berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk berjualan karena tidak punya sepeda lagi? Dia memang dingin dan tidak banyak bicara, tapi di belakangmu, bude tahu, dia kerap menangis saat menyadari dia tidak bisa memberikanmu yang terbaik.”
Aku kembali membuka album tua itu. Kulihat foto Farid saat masih SD, aku tidak ingat kelas berapa saat itu. “Ini fotomu saat sekolah dulu le. Lihat ini le, kamu masih ingat sepatu karet yang kamu pakai ini?” tanganku menunjuk foto sepatu yang dipakai Farid saat itu, “Sekarang sudah ga ada lagi ya sepatu kayak gini.”
“Iya bude…., aku menghilangkannya di sungai bersama teman-temanku. Aku ingat ….,” Farid tampak menghela nafas sejenak, “….setelah itu ibu memukuliku dengan rotan. Sakit sekali….”
“Kamu tahu to le, setelah itu ibumu terlambat berjualan karena mencarikan kamu sepatu bekas di pasar.”
“Entahlah bude, ibu tidak pernah menjelaskan apa-apa padaku. Yang aku ingat, dia memang membawa sepatu bekas yang kebesaran. Dia bilang kalau aku menghilangkannya lagi, aku tidak akan memakai sepatu sampai lulus SD. Ibu memang sosok yang keras….”
“Semata-mata demi kebaikanmu le.” Aku segera menimpali, “Kehidupan sangat keras saat itu, terutama bagi ibumu.”
Farid akhirnya duduk di dipan tempat tidur tua itu. Dia mulai memperhatikanku sepenuhnya.
“Kalau memang ibu sebenarnya sayang sekali padaku, kenapa dia keras sekali padaku dan kerap menyuruhku pergi saat aku lulus SMP?”
“Karena dia ingin kamu menjadi orang sukses. Kalau kamu bertahan di kampung ini, kamu tidak akan menjadi siapa-siapa. Bude ingat, betapa bahagianya dia begitu melihat nilai-nilaimu saat kelulusan SMP. Ibumu bertekad saat itu agar kamu bisa mendapatkan beasiswa di SMU terbaik di kota. Itulah kenapa dia kerap mendorongmu untuk keluar dari sini. Tidak lain supaya kamu mendapatkan pendidikan yang terbaik sekaligus belajar untuk mandiri.”
Farid tampak termenung. Aku pun melanjutkan, “Begitu berpisah denganmu sejak lulus SMP, ibumu benar-benar kehilangan senyumnya le. Uang hasil kerjanya dikumpulkan hanya untuk menabung supaya bisa mengunjungi asramamu sebulan sekali. Dia jadi sering sakit-sakitan, kangen sama kamu. Apalagi sejak itu, kamu hampir tidak pernah pulang. Ibumu bahkan mau pingsan saat mendengar kamu mendapatkan beasiswa melanjutkan kuliah. Barangkali waktu itu perasaan sedih dan bahagia bercampur jadi satu di hatinya.”
Tanganku kembali membuka lembaran foto, kali ini letaknya agak di belakang.
Tampak foto Farid memakai seragam wisuda. Versi besar foto itu sudah terpampang di ruang tamu rumah ini.
“Foto ini adalah satu-satunya foto yang kamu kirimkan saat kuliah. Ini adalah foto pelipur lara ibumu  yang merindukanmu setiap hari.”  Tanganku lalu membuka lembar terakhir album tua itu, “Le, ini adalah foto berikutnya sekaligus foto terakhir yang kamu kirim ke ibumu.”
Tampak foto Farid dengan kemeja rapi di depan tulisan sebuah perusahaan bergengsi.
Suaraku melanjutkan dan mulai berat, “Satu-satunya yang diinginkan ibumu sebelum kematiannya adalah melihatmu datang dalam keadaan sehat. Tapi nyatanya, hingga hari kematiannya, yang dilihatnya justru hanya fotomu di album ini.”
Hatiku yang semakin berat tiba-tiba teringat sebuah kardus di bawah tempat tidur tua. Aku mengambilnya. Kubongkar kardus yang tidak begitu besar itu. Tampak barang-barang lama milik Farid seperti sepatu sekolah, tas sekolah, dan beberapa pernik-pernik yang tidak terlalu banyak.
“Ini le, ibumu menyimpannya, berharap masih bisa mencium aroma tubuhmu di sini.”
Kali ini, untuk pertama kalinya, akhirnya matanya merah. Diletakkannya album tua itu dan dipeluknya aku dengan erat dan kudengar tangisnya lirih. Ditumpahkannya semua beban di hatinya. Barangkali, itu adalah kesalahpahaman dirinya tentang ibunya selama ini.
Dengan terbata-bata dia bicara dalam tangisnya sambil tetap memelukku, “Bude…. Aku kira …ibu tidak mencintaiku sebesar itu…aku kira… karena aku anak haram dia membenciku….”
“Ya Allah…ora to le…. Mana ada ibu yang seperti itu sama anaknya, apalagi ibumu….!” Dadaku sesak, “Kalau memang ibumu membencimu, dia tidak akan mati-matian bertahan untuk memilih melahirkanmu daripada menggugurkanmu. Dia bahkan rela dikucilkan dari keluarga hingga sekarang dan menjalani hidup sengsara. Semua demi kamu le…. dia sadar, kamu dan dia harus kuat supaya tetap bertahan le, makanya ibumu keras padamu …. Dia bahkan lebih memilih kamu membencinya ….” Aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku karena sesak oleh kesedihan. Kurasakan, pelukan Farid semakin erat dan tangisannya semakin pecah.
Tiba-tiba, suara Yanto, anakku, mengagetkan kami, “Mas Farid, maaf mengganggu, tapi ini sudah jam sepuluh mas, kita bisa telat ke bandara.”
Farid akhirnya tersadar dan melepaskan pelukannya padaku. Ditahannya tangis sekuat tenaga. Matanya menerawang sekali lagi ke seluruh penjuru ruangan itu. Tak lupa dibawanya kembali album cokelat tua yang menjadi saksi bisu kerinduan ibunya selama ini.
Farid lalu mencium tanganku, dan mengucapkan terimakasih. Hatiku yang remuk redam sebenarnya tidak sanggup menjawabnya, namun kukuatkan tenaga untuk menyahut pamitnya yang penuh kesedihan. Farid, si anak hilang, jangan lupa kembali nak, begitu batinku sambil menatap mobilnya menjauh pergi.