Tuesday 9 December 2014

Cerpen : The Duel



Akhirnya, latihan selama berbulan-bulan bertemu dengan momennya. Inilah saatnya! Begitulah aku berkata pada diriku sendiri. Aku memang belum begitu ahli dalam memainkan cello, tapi aku telah belajar begitu keras selama berbulan-bulan ini. Untuk apa? Tidak lain untuk satu tujuan! Hanya satu tujuan! Yang aku yakin sebagian besar orang akan mencibirnya. Tidak lain adalah untuk terhubung dengannya! Ya, untuk terhubung dengan wanita ini! Wanita dingin dan kejam yang bukan main sulit untuk didekati. Jenius music yang memiliki dunianya sendiri dalam cello.
Beribu cara telah aku perjuangkan untuk membuatnya menyadari diriku ada, namun sia-sia. Hanya satu jawaban pasti yang bisa aku mengerti. Aku hanya bisa terhubung dengannya melalui benang merah bernama cello!
Akhirnya, setelah dibentak dan dimaki habis-habisan oleh Nurman melalui latihan cello berbulan-bulan, akhirnya, aku berhasil juga bersahabat dengan Minuet in G Major-nya Bach.
Dan sekaranglah momen itu, kala jenius bengis ini masuk studio yang besar, bersudut kelam, dan sepi, lalu dia duduk. Duduk seperti biasa. Menghadap jendela dan memasang wajah datar. Datar saja, hingga aku tidak pernah berhasil membaca alasan kenapa dia begitu gemar memainkan Minuet in G Major. Lalu, sebuah cello tua bersandar di kakinya yang kurus.
Aku pun yang sudah gila hanya duduk terpana di balik tirai-tirai putih yang akan digunakan untuk pertunjukan music tiga hari lagi. Tanganku yang memegang cello gemetar membayangkan rencana yang akan aku jalankan. Akan benar-benar gagal, atau benar-benar berhasil. Segalanya akan kupertaruhkan untuk momen ini.
Wanita ini menunduk dengan tenang dan mulai menggesek Minuet in G Major dalam tempo cepat dan bukan main indah. Satu judul, hanya satu judul. Minuet in G Major. Tapi jenius ini menyampaikannya dalam cara yang berbeda-beda setiap kali dia memainkannya. Dan percaya atau tidak, setiap permainan Minuet in G Majornya-nya tidak pernah gagal mempesonaku. Selalu membuatku menangis di sudut studio tanpa dia tahu.
Akhirnya, saat puncak datang, dan aku membalasnya dengan nada yang sangat berbeda! Ya, aku memainkan Minuet in G Major dengan caraku sendiri. Aku memainkannya dan sesaat lupa ini hanya sebuah misi, misi yang berat. Ini seakan menjadi percakapan kami yang pertama, melalui permainan cello yang indah.
Wanita ini terkejut dan permainan indah kami menjadi sedikit terhambat. Dia berpaling ke arah tirai yang menyembunyikan sosokku di baliknya. Dia mungkin ingin berhenti karena kaget, namun indahnya harmoni yang sudah terlanjur tercipta, sayang untuk dihancurkan, dan membuatnya menahan diri untuk berdiri dan menghampiriku. Dia pun akhirnya tetap duduk dan melayani music yang aku mainkan. Cello kami bersahutan, membentuk harmoni yang luar biasa indah. Seakan tidak perlu biola, kontra bass, atau drum untuk mengirinya. Ini saja sudah cukup. Bukan main!
Aku bermain dan aku lupa aku siapa. Aku bermain untuk menarik hati wanita kejam paling luar biasa yang pernah kutahu, dan aku lupa bahwa aku manusia yang tidak setara untuk menjadi muridnya. Dan anehnya, saat music kami terhubung dengan indah, aku lupa, dan aku yakin dia juga.
Mataku seakan menembus tirai, dan aku tahu, bibirnya tersenyum dan menikmati setiap music yang kami mainkan. Tidak ada ekspresi datar itu lagi. Dan untuk pertama kalinya aku merasa menjadi pemenang.
Sahut-sahutan music kami membentuk surga harmoni yang luar biasa. Kulit merinding, mata basah karena terharu, dan perasaan luar biasa yang tidak biasa diungkapkan dengan kata-kata. Dan, seperti hal indah lainnya, akhirnya music ini berakhir. Aku menutup dengan tempo cepat.
Lalu lengang pun menyusul kemudian. Seolah tidak ada yang mau memulai untuk bergerak atau bersuara. Beberapa detik kemudian, saat kupikir hal paling rikuh akan terjadi, tepukan tangan yang riuh sahut menyahut di belakang kami. Rupanya, para musikus amatir yang berdatangan untuk berlatih menangkap basah duel kami. Saking asyiknya tenggelam dalam nada yang paling indah yang pernah kudengar, kami sampai tidak menyadari jika banyak sekali penonton di belakang kami.
Setelah tepukan tangan yang panjang bergemuruh, dia beranjak dari kursinya dan menyibak tirai yang menghalangi kami. Dia berdiri, dan menatap lurus ke mataku dengan tatapan tajam yang tidak bisa kubaca. Aku mendongak, takut dan takjub. Lalu perlahan, sudut bibirnya tersenyum.
“Well done, Randall!” Dia memuji! 
Tapi yang paling penting, dia tahu namaku! Rasanya bukan main! Dan aku pun balas tersenyum, meski mulut bisuku tidak bisa bicara. Sudah cukup. Setidaknya sekarang, akhirnya dia tahu eksistensiku.