Akhirnya, latihan selama berbulan-bulan bertemu dengan
momennya. Inilah saatnya! Begitulah aku berkata pada diriku sendiri. Aku memang
belum begitu ahli dalam memainkan cello, tapi aku telah belajar begitu keras
selama berbulan-bulan ini. Untuk apa? Tidak lain untuk satu tujuan! Hanya satu
tujuan! Yang aku yakin sebagian besar orang akan mencibirnya. Tidak lain adalah
untuk terhubung dengannya! Ya, untuk terhubung dengan wanita ini! Wanita dingin
dan kejam yang bukan main sulit untuk didekati. Jenius music yang memiliki
dunianya sendiri dalam cello.
Beribu cara telah aku perjuangkan untuk membuatnya
menyadari diriku ada, namun sia-sia. Hanya satu jawaban pasti yang bisa aku
mengerti. Aku hanya bisa terhubung dengannya melalui benang merah bernama
cello!
Akhirnya, setelah dibentak dan dimaki habis-habisan oleh
Nurman melalui latihan cello berbulan-bulan, akhirnya, aku berhasil juga bersahabat
dengan Minuet in G Major-nya Bach.
Dan sekaranglah momen itu, kala jenius bengis ini masuk
studio yang besar, bersudut kelam, dan sepi, lalu dia duduk. Duduk seperti
biasa. Menghadap jendela dan memasang wajah datar. Datar saja, hingga aku tidak
pernah berhasil membaca alasan kenapa dia begitu gemar memainkan Minuet in G
Major. Lalu, sebuah cello tua bersandar di kakinya yang kurus.
Aku pun yang sudah gila hanya duduk terpana di balik
tirai-tirai putih yang akan digunakan untuk pertunjukan music tiga hari lagi.
Tanganku yang memegang cello gemetar membayangkan rencana yang akan aku
jalankan. Akan benar-benar gagal, atau benar-benar berhasil. Segalanya akan
kupertaruhkan untuk momen ini.
Wanita ini menunduk dengan tenang dan mulai menggesek Minuet
in G Major dalam tempo cepat dan bukan main indah. Satu judul, hanya satu
judul. Minuet in G Major. Tapi jenius ini menyampaikannya dalam cara yang
berbeda-beda setiap kali dia memainkannya. Dan percaya atau tidak, setiap permainan
Minuet in G Majornya-nya tidak pernah gagal mempesonaku. Selalu membuatku
menangis di sudut studio tanpa dia tahu.
Akhirnya, saat puncak datang, dan aku membalasnya dengan
nada yang sangat berbeda! Ya, aku memainkan Minuet in G Major dengan caraku
sendiri. Aku memainkannya dan sesaat lupa ini hanya sebuah misi, misi yang
berat. Ini seakan menjadi percakapan kami yang pertama, melalui permainan cello
yang indah.
Wanita ini terkejut dan permainan indah kami menjadi
sedikit terhambat. Dia berpaling ke arah tirai yang menyembunyikan sosokku di
baliknya. Dia mungkin ingin berhenti karena kaget, namun indahnya harmoni yang
sudah terlanjur tercipta, sayang untuk dihancurkan, dan membuatnya menahan diri
untuk berdiri dan menghampiriku. Dia pun akhirnya tetap duduk dan melayani music
yang aku mainkan. Cello kami bersahutan, membentuk harmoni yang luar biasa
indah. Seakan tidak perlu biola, kontra bass, atau drum untuk mengirinya. Ini saja
sudah cukup. Bukan main!
Aku bermain dan aku lupa aku siapa. Aku bermain untuk
menarik hati wanita kejam paling luar biasa yang pernah kutahu, dan aku lupa bahwa
aku manusia yang tidak setara untuk menjadi muridnya. Dan anehnya, saat music kami
terhubung dengan indah, aku lupa, dan aku yakin dia juga.
Mataku seakan menembus tirai, dan aku tahu, bibirnya
tersenyum dan menikmati setiap music yang kami mainkan. Tidak ada ekspresi
datar itu lagi. Dan untuk pertama kalinya aku merasa menjadi pemenang.
Sahut-sahutan music kami membentuk surga harmoni yang
luar biasa. Kulit merinding, mata basah karena terharu, dan perasaan luar biasa
yang tidak biasa diungkapkan dengan kata-kata. Dan, seperti hal indah lainnya,
akhirnya music ini berakhir. Aku menutup dengan tempo cepat.
Lalu lengang pun menyusul kemudian. Seolah tidak ada yang
mau memulai untuk bergerak atau bersuara. Beberapa detik kemudian, saat kupikir
hal paling rikuh akan terjadi, tepukan tangan yang riuh sahut menyahut di
belakang kami. Rupanya, para musikus amatir yang berdatangan untuk berlatih
menangkap basah duel kami. Saking asyiknya tenggelam dalam nada yang paling
indah yang pernah kudengar, kami sampai tidak menyadari jika banyak sekali
penonton di belakang kami.
Setelah tepukan tangan yang panjang bergemuruh, dia
beranjak dari kursinya dan menyibak tirai yang menghalangi kami. Dia berdiri,
dan menatap lurus ke mataku dengan tatapan tajam yang tidak bisa kubaca. Aku mendongak,
takut dan takjub. Lalu perlahan, sudut bibirnya tersenyum.
“Well done, Randall!” Dia memuji!
Tapi yang paling
penting, dia tahu namaku! Rasanya bukan main! Dan aku pun balas tersenyum, meski
mulut bisuku tidak bisa bicara. Sudah cukup. Setidaknya sekarang, akhirnya dia
tahu eksistensiku.